Tampilkan postingan dengan label goresan pena ku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label goresan pena ku. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Agustus 2020

Review Buku Great Wife Best Mom



 


๐Ÿ“š Judul : Great Wife Best Mom

✍๐Ÿป Penulis : Wulan Nur Mahmudah

๐Ÿ–จ️ Penerbit : Marsua Media Publishing

๐Ÿ“… Tahun terbit : -

๐Ÿ“– Jumlah Halaman : 130

๐Ÿ‘ฉ๐Ÿป‍๐Ÿ’ป Reviewer : Anita Komala Dewi

______________________________________


❣️๐Ÿงก๐Ÿ’›๐Ÿ’š๐Ÿ’™❣️๐Ÿงก๐Ÿ’›๐Ÿ’š๐Ÿ’™


Buku ini berisi kumpulan hikmah dengan mengambil tema keluarga. Membahas banyak hal, mulai dari perkara jodoh, pernikahan, kehidupan rumah tangga, serta pendidikan anak dalam Islam. 


Karena begitu banyaknya tema yang diambil, sedangkan jumlah halaman tergolong tipis, sehingga pembahasan tidak begitu mendalam hanya selewat-selewat saja. Diluar ekspetasi tapi saya tetap suka buku ini, karena merasa tepat moment ketika membacanya. 


Saya suka dengan penyampaian bahasanya yang terasa ringan seringan membaca novel. Walau begitu tetap ada kisah-kisah yang dirasa #jleb khususnya kisah yang disadur dari ceramah para ustadz. 


Nilai 3/5

❤️❤️❤️

Kamis, 25 Oktober 2012

BERANTAS KORUPSI DENGAN KHILAFAH ISLAMIYAH


Oleh: Anita Komala Dewi
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UPI
Diterbitkan pada kolom OPINI- Inilah Koran edisi 19 Oktober 2012



Setelah ditunggu-tunggu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya dengan tegas memerintahkan Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada KPK. Dengan itu, diharapkan kasus-kasus kelas kakap seperti kasus Hambalang, Wisma Atlet, Century dan lainnya, segera tuntas dan negeri ini bisa bebas dari korupsi.

Harapan bebas dari korupsi sebenarnya hanya bisa terealisasi jika pemberantasannya dilakukan menggunakan sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor pemicu utama muncul dan langgengnya korupsi di negeri ini.

Sistem yang bisa diharapkan itu tidak lain adalah sistem Khilafah Islamiyah yang menerapkan Syariah Islam secara totalitas. Hal itu mengingat: Pertama, dasar akidah Islam mampu melahirkan kesadaran bahwa setiap gerak-gerik kita senantiasa diawasi oleh Allah SWT sehingga melahirkan ketakwaan pada diri masing-masing.

Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidaklah mahal. Sehingga tidak akan muncul persekongkolan untuk mengembalikan modal yang digunakan sewaktu menikuti pemilihan.

Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tersandera oleh kepentingan parpol, sehingga hukum tidak akan tersandera oleh kepentingan seperti dalam sistem demokrasi. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amarmakruf dan nahi mungkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa.

Keempat, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan Khalifah, sehingga ketakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi. Faktor absennya peran kepemimpinan bisa dihindari, berbeda dengan fakta yang ada sekarang.

Kelima, sanksi bagi pelaku korupsi mampu memberikan efek cegah dan jera. Bentuk dan kadar sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi, bisa disita seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab, atau tasyhรฎr (diekspos), penjara, hingga hukuman mati.

Pemberantasan korupsi saat ini diibaratkan bak mimpi disiang bolong karena beberapa faktor, diantaranya: Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari kehidupan dan bernegara, menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari masyarakat khususnya dalam ranah politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal dalam diri masyarakat, politisi, pejabat, aparatur dan pegawai. Akhirnya, semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Masalahnya, mereka semua tidak jauh berbeda bahkan sama saja. Di sisi lain, hukum juga tumpul, aturan hukum yang ada mudah direkayasa dan sanksi bagi yang terbukti bersalah pun sangat ringan.

Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Maka cara singkat untuk mengembalikan modal secara cepat adalah dengan korupsi.

Ketiga, korupsi telah begitu berurat dan mengakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah. Laporan BPK menyatakan telah terjadi penyimpangan pada instansi pemerintah pusat dan daerah di semester I tahun 2012 yakni sebanyak 13.105 kasus. Potensi kerugian negara mencapai Rp 12,48 triliun. Dari jumlah itu, sebanyak 3.976 kasus senilai Rp 8,92 triliun merupakan temuan ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan negara. Sisanya sebanyak 9.129 kasus senilai Rp 3,55 triliun merupakan kasus penyimpangan administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan, serta Sistem Pengendali Intern (SPI).

Keempat, dalam sistem politik yang ada saat ini, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi dan cukong pemberi modal amat berpengaruh.

Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Ketegangan KPK vs Polri jilid II adalah bukti paling akhir. Ketegangan ini dipengaruhi dua faktor yakni: faktor pertama, antar lembaga tinggi posisinya sejajar dan tidak di bawah satu kepemimpinan. KPK adalah lembaga independen. Jikalau KPK lemot, tidak bisa serta merta diakselerasi oleh presiden ataupun DPR. Sebaliknya, jika KPK dapat “hambatan” dari instansi atau aparat lain, KPK tidak mudah meminggirkan halangan itu sebab berbeda jalur. Faktor kedua, absennya peran kepemimpinan. Ketidakpaduan polri dengan KPK mestinya tak terjadi, andai sejak awal presiden memerintahkan Polri harus berjalan padu dengan KPK atau ketika Polri tidak patuh segera ditegur dan diluruskan. Peran pemimpin tidaklah seperti wasit tinju, setelah baku hantam dan berdarah-darah baru menghentikan dan memutuskan. Peran pemimpin seharusnya memimpin, mengarahkan dan memadukan gerak sehingga semua berjalan harmonis.

Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga sangat ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor yang telah dihukum pun tidak jera untuk kembali melakukan korupsi.
Karena itu wajar jika harapan untuk bebas dari korupsi dengan sistem seperti sekarang ini akan terus menjadi mimpi. Aksi pemberantasan korupsi yang sedang berjalan hanya akan menjadi pelipur lara dan drama yang tak berkesudahan. Wallaahu a’lam.



Kamis, 26 April 2012

TOLAK KEDATANGAN LADY GAGA BULAN JUNI NANTI!


Seharusnya yang merasa gerah dengan kehadiran Lady Gaga tanggal 3 Juni nanti di Indonesia bukan hanya kaum Muslim, lebih tepatnya jangan cuma MUI yang memfatwakan haram membeli tiketnya. Tetapi orang-orang Kristen yang tak mau diinjak-injak agama nya pun harus merasa geram. Kenapa tidak? Coba lihat foto berikut.

Foto ini di dapat dari potongan-potongan video klip Lady Gaga "Alejandro". Dalam pakaiannya Lady Gaga banyak menggunakan simbol salib terbalik, bahkan tak tanggung-tanggung, ia pun menyematkan simbol salib terbalik ini diantara selangkangan pahanya. Sungguh sebuah penghinaan bagi umat Kristen!

Salib adalah simbol iman Kristen yang mewakili pengorbanan Yesus dan kebangkitan Kristus. Sedangkan simbol Salib terbalik merupakan penyimpangan dan penodaan dari apa yang melambangkannya.

Simbol terbalik seringkali ditemukan dalam ilmu hitam dan satanisme.

Di dunia okultisme, lambang-lambang berupa pentagram terbalik, salib terbalik diidentikkan dengan ritual anti Tuhan, bagian dari simbol upacara menyembah setan. Band-band beraliran gothic kerap menggunakannya, menunjukkan sisi pemberontakan pada dunia bahwa mereka adalah orang-orang yang anti Tuhan.

 

Seseorang datang kepada Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wassallam dan berkata: "Wahai Rasulullaah, bagaimana pendapatmu tentang seorang yang mencintai suatu kaum tapi tidak mampu menyusul (amal sholeh) mereka?" Maka Rasulullaah shallallaahu 'alaihi wassalam bersabda, "SESEORANG AKAN BERSAMA ORANG YANG DI CINTAINYA" Hadits dari Abdullaah bin Mas'ud yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim.

Jika kawan-kawan disini ada yang sangat mengagumi Lady Gaga, maka berhati-hatilah kelak di akhirat anda akan bersama-sama dengannya.

[22 Maret 2012]

Senin, 12 Maret 2012

Gagalnya Demokrasi di Negeri Demokratis

 

 
                Tahun 2007 silam, Indonesia berhasil meraih “Medali Demokrasi”. Harian Republika menulis, medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)        -sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia- karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (12/11/07) mengatakan, bukti bahwa Indonesia berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi adalah suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono -dari partai yang baru terbentuk- menjadi seorang Presiden.
Di tahun 2008 kemarin pun, Indonesia sukses menyelenggarakan pemilu langsung terbanyak, yakni 160 pilkada atau 3 hari sekali. Namun apa yang telah dihasilkan dari penerapan sistem demokrasi ini? Sungguhkah sistem ini telah menyejahterakan rakyat?
Demokrasi yang sejatinya merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ternyata tidak mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat itu sendiri, bahkan di negeri demokratis seperti Indonesia sekalipun. Menurut data yang dikeluarkan KPU, biaya Pemilihan Umum 2009 diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 48 trilyun. Menurut hasil penelusuran Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), pilkada di seluruh Indonesia telah berlangsung sebanyak 350 pilkada. Jika kita asumsikan biaya pilkada yang dikeluarkan untuk masing-masing daerah sebesar Rp 70 Milyar, maka total dana pelaksanaan demokrasi ini telah menelan biaya hampir Rp 25 trilyun. Jumlah yang tidak sedikit tentunya. Namun sungguh sangat disayangkan, biaya yang telah dikeluarkan sebesar itu hanya digunakan untuk pesta pora bernama pesta demokrasi yang telah terbukti menyengsarakan rakyat karena kebijakan yang dihasilkan oleh diskusi alot para anggota parlemen dari partai terpilih hanya memihak dan menguntungkan para pengusaha/pemilik modal -sebagai kompensasi yang harus diberikan para anggota parlemen karena para pemilik modal tersebut telah memberikan suntikan dana kampanye yang tidak sedikit-.
Sungguh tak sebanding dengan biaya kesejahteraan rakyat yang dialokasikan dalam APBN. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI pernah membandingkan biaya demokrasi dengan anggaran untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dalam APBN. Biaya yang dialokasikan di APBN untuk pengurangan kemiskinan di seluruh negeri, tahun 2004 sebesar Rp 17 trilyun, tahun 2005 sebesar Rp 24 trilyun, tahun 2006 sebesar Rp 41 trilyun, dan tahun 2007 sebesar Rp 57 trilyun.
Hal ini membuktikan bahwa Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya, misalya berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA), Michael Ross, yang diberi judul, “ Is Democracy Good for the Poor?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum miskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. Di Indonesia sendiri, seiring dengan puja-puji atas pemilu yang dianggap demokratis tersebut, Laporan Bank Dunia justru menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 % dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk.

Pandangan Islam tentang Demokrasi
            Aqidah yang menjadi dasar munculnya demokrasi adalah sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Sekulerisme memang tidak menafikan eksistensi agama, tetapi mengesampingkan fungsinya dalam mengatur kehidupan dan negara, yang berarti manusialah -tanpa campur tangan agama- yang berwenang membuat aturan bagi dirinya. Contoh riil dalam kehidupan yaitu sekalipun Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar namun ternyata Indonesia lebih memilih menerapkan hukum-hukum buatan manusia yang tercantum dalam UUD dan Pancasila juga menerapkan sistem demokrasi dalam segala aspek kehidupannya.
Demokrasi jelas utopis untuk diterapkan. Bagaimana mungkin manusia mampu menerapkan hukum-hukum buatan manusia yang notabene manusia itu serba terbatas dan senantiasa memiliki kekurangan. Ketika manusia yang satu merumuskan hukum untuk manusia lainnya, maka hukum tersebut adalah hukum bathil (disamping akan memunculkan perselisihan dan perbenturan karena perbedaan pandangan dan keinginan ) karena tidak akan sesuai dengan fitrah manusia dan tidak akan melahirkan ketentraman batin. Contoh yang dapat kita amati adalah pertentangan makna pornografi dalam UU Pornografi. Dalam UU ini pornografi dikatakan ketika seseorang melakukan perbuatan yang menimbulkan hasrat birahi (Pasal 1 ayat 1), perbuatan seperti apa saja yang dimaksud? apakah hanya sekedar memperlihatkan bagian-bagian sensitif seperti alat kelamin saja? Lantas bagaimana halnya ketika ada yang berpendapat bahwa wanita telanjang bukan merupakan aksi pornografi karena itu adalah seni, sesuatu yang indah dan pantas untuk diperlihatkan. Ternyata jika kita amati lebih mendalam, UU ini pun melindungi pernyataan tersebut karena dikatakan dalam Pasal 14 bahwa: pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: (a) seni dan budaya (b) adat istiadat dan (c) ritual tradisional. Padahal jika kita kembalikan pada aturan Allah, pornografi telah memiliki batasan yang jelas. Pornografi adalah ketika seseorang memperlihatkan auratnya -bagi pria dari pusar hingga lutut dan bagi wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan- terlepas itu akan menimbulkan hasrat birahi atau tidak. Dari fakta ini jelaslah sudah, demokrasi telah menyuguhkan pertentangan yang berkepanjangan. 
            Adapun asas demokrasi ada dua, yaitu: (1) Kedaulatan di tangan rakyat: (2) Rakyat sebagai sumber kekuasaan. Sebaliknya dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Allah atau syariat-Nya. Hanya Allah Yang Berdaulat, Yang Berhak membuat hukum bagi manusia. Hal ini tentu sangat wajar dan masuk logika,  karena Allah-lah yang paling memahami kelebihan dan kekurangan manusia dan hanya Alla-lah Dzat yang telah menciptakan manusia dengan segala Keagungan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak memiliki kewenangan untuk membuat satu hukum pun. Seandainya manusia seluruhnya sepakat untuk menghalalkan riba karena pertimbangan kemashlahatan ekonomi, membolehkan lokalisasi pelacuran agar tidak menyebar luas, menghilangkan hak milik pribadi, mengadopsi ide kebebasan umum, atau yang semacamnya, maka kesepakatan tersebut tidak ada nilainya di sisi Allah selain dianggap sebagai dosa. Sebab, setiap manusia wajib terikat dengan hukum-hukum Allah dan tidak boleh membuat aturan sendiri. Allah Swt. berfirman:
“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”. (TQS. An-Nisa : 65)
            Pelaksanaan hukum-hukum Allah sudah pasti membutuhkan kekuasaan, maka Islam memberikan kekuasaan itu kepada umat. Artinya, kekuasaan untuk memilih penguasa untuk menjalankan hukum-hukum Allah ada di tangan umat Islam. Menyoal suara mayoritas, secara filosofis, demokrasi identik dengan suara mayoritas. Prinsip mayoritas dalam demokrasi sebagai standar dalam menentukan hukum bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, hukum atau standar kebenaran tidak bergantung pada suara mayoritas atau minoritas, tetapi bergantung pada apa yang ditunjukkan oleh nash syariat karena pembuat hukum adalah Allah bukan manusia. Penguasa yang akan menjalankan syarit ini direpresentasikan oleh Khalifah, yaitu pihak yang berwenang untuk mengadopsi hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil yang paling kuat menurut ijtihadnya. Khalifah boleh -tetapi tidak wajib- merujuk pada majelis umat untuk mengadopsi hukum-hukum tersebut berdasarkan pendapatnya.
            Khulafaur Rasyidin juga biasa meminta pendapat para sahabat ketika hendak mengadopsi suatu hukum. Pada masa Umar misalnya, ketika beliau hendak mengadopsi hukum mengenai tanah taklukan di Syam, Mesir, dan Irak, beliau meminta pendapat kaum Muslim. Akan tetapi pendapat majelis umat, meskipun mayoritas, tidaklah mengikat Khalifah. Rasulullah sendiri misalnya -dalam akad perjanjian Hudaibiyah- tetap dengan pendapatnya meskipun sebagian besar sahabat tidak sepakat dengan beliau, karena pendapat beliau dalam masalah itu didasarkan pada wahyu.
            Sedangkan dalam masalah kecakapan atau pemikiran yang memerlukan keahlian, maka yang diambil adalah pendapat yang tepat, yakni pendapat dari pihak yang memang ahli di bidangnya, bukan pula didasarkan pada suara mayoritas atau minoritas. Jika terkait dengan strategi militer di medan tempur, maka masalahnya diserahkan kepada ahli militer, jika terkait dengan masalah kesehatan maka masalahnya diserahkan kepada pra dokter, dan lain lain. Dalilnya adalah sikap Rasulullah ketika beliau meninggalkan pendapatnya sendiri dan mengambil pendapat Hubab bin al-Mundzir -yaitu orang yang paling paham dalam hal ini- yang terkait dengan strategi militer dalam Perang Badar. Saat itu, beliau bahkan tidak mengajak para sahabat lain bermusyawarah.
            Sementara itu, dalam perkara-perkara yang menyangkut tindakan yang tidak memerlukan pemikiran dan penelaahan, diserahkan pada pendapat mayoritas karena mayoritas di anggap sudah sangat memahaminya. Dalam hal ini, pendapat mayoritas bersifat mengikat, harus dilaksanakan oleh semua peserta musyawarah. Dalilnya adalah sikap Rasulullah saw. dalam Perang Uhud, yakni ketika beliau dan para sahabat bermusyawarah mengenai apakah kaum Muslim menunggu musuh (kafir Quraisy) di kota Madinah ataukah justru harus menyongsongnya di luar kota Madinah. Karena mayoritas sahabat, khususnya di kalangan muda lebih banyak yang menghendaki untuk menyongsong musuh di luar Madinah, maka pendapat itulah yang dilaksanakan, meskipun hal itu bertentangan dengan pendapat Rasul dan para sahabat senior.

Memperjelas Posisi Musyawarah dalam Islam
            Banyak kalangan yang mengira bahwa sistem pemerintahan Islam identik dengan sistem Syura’ (musyawarah) dan bahwa musyawarah identik dengan demokrasi. Dengan kata lain, pemerintah Islam didasarkan pada prinsip musyawarah atau pada prinsip-prinsip demokrasi. Pendapat ini jelas terlalu menyederhanakan konsep musyawarah dan demokrasi. Mengapa? Karena Syura’ bukanlah sistem pemerintahan, apalagi sistem kehidupan. Syura’ hanyalah sebuah ushlรปb (mekanisme) untuk memperoleh pendapat yang paling tepat dalam satu perkara. Sebaliknya, demokrasi berbeda dengan Syura’. Sebab demokrasi bukanlah ushlรปb (mekanisme), tetapi sistem pemerintahan itu sendiri. Fakta ini sudah sangat gamblang dijumpai pada semua UUD demokratis di berbagai negara dunia, yang secara tegas menyebutkan bahwa dalam sistem demokasi kedulatan ada di tangan rakyat.
            Dengan demikian, sama sekali tidak ada kaitan antara syura dan demokrasi. Keduanya tidak layak disandingkan, juga tidak layak Syura’ sebagai sebuah pemikiran cabang dalam Islam dibandingkan dengan demokrasi sebagai sebuah ‘sistem pemerintahan’ untuk mengatur kehidupan. Ini persis seperti membandingkan sistem ekonomi Kapitalisme dengan zakat dalam Islam. Yang benar, gagasan demokrasi harus dibandingkan dengan gagasan Imamah (Khilafah), sementara sistem ekonomi Kapitalisme harus dibandingkan dengan sistem ekonomi Islam secara keseluruhan. Sehingga jelas, demokrasi merupakan sistem yang berkaitan dengan aqidah atau pandangan hidup tertentu yakni aqidah sekulerisme yang merupakan bagian asas dari ideologi Kapitalisme.
            Walhasil, dari segi pemikiran, yang mendasar dalam demokrasi adalah berupa pemberian otoritas kepada manusia untuk menentukan halal-haram, baik-buruk, terpuji-tercela, yang berarti menjadikan manusia sebagai ‘tuhan’ lain selain Allah. Sedangkan dari segi politik, demokrasi adalah ibarat ujung tombak ideologi Barat dalam membentuk peradaban baru sebagaimana yang dikehendaki oleh mereka, yang ditujukan terutama pada wilayah-wilayah di dunia Islam yang sedang menggeliat untuk kembali menerapkan Islam. Wallรขhu a’lam

Oleh: Anita Komala Dewi (8Maret 2009)
Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Masihkah Anda Percaya pada Pemimpin di Negeri-negeri Kaum Muslim yang telah Berkhianat???


            Pada tanggal 27 Desember 2008, bangsa Yahudi telah memulai serangan biadabnya ke Gaza, meluluhlantakkan dan melakukan pembantaian, bahkan telah membumihanguskan manusia, tumbuh-tumbuhan, bebatuan, dan sebagainya. Kemudian, tanggal 17 Januari 2009 mereka mengumumkan gencatan senjata secara sepihak untuk memberi gambaran umum bahwa mereka mempunyai kekuatan dan keperkasaan, Yahudi dapat memulai serangan biadabnya kapan saja, dan menghentikan kapanpun mereka mau.
            Di tengah kebiadaban bangsa Yahudi tersebut, para penguasa Muslim justru hanya bisa menghitung korban yang berguguran, atau bahkan mereka tidak pernah menghitungnya dan tidak pula menghiraukannya. Mereka telah berhasil melakukan kebohongan publik, penyesatan, pengkhianatan, dan konspirasi untuk mereduksi masalah Palestina dari permasalahan Islam menjadi masalah bangsa Arab, kemudian hanya menjadi masalah bangsa Palestina hingga kemudian hanya sekedar masalah penduduk Gaza.
            Bukankah merupakan kehinaan dan aib, ketika Gaza dibantai, sementara para penguasa Muslim tidak mau mengerahkan tentara untuk menolong Gaza, bahkan sebaliknya mereka malah memperdagangkan darah-darah penduduk Gaza dengan berbagai konferensi yang merealisasikan kemashlahatan bagi bangsa Yahudi, yang justru tidak bisa direalisasikan di medan perang? Tidak ingatkah mereka dengan sabda Rasulullah saw.:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah bagaikan satu tubuh. Jika salah satu bagian merasakan sakit, maka seluruh bagian tubuh yang lain juga ikut merasakan sakit dengan tidak dapat tidur dan demam”.
 [HR. Bukhari-Muslim]
“Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”. [HR. Bukhari]
            Akhir perang 1973 di Mesir, dimana tentara Mesir telah berhasil menembus terusan Suez dan menerobos garis demarkasi, sehingga dalam peperangan tersebut tentara Yahudi mengalami kekalahan dan nasib buruk, namun justru berakhir dengan Perjanjian Camp David yang telah mengeluarkan Mesir dari peperangan dengan bangsa Yahudi, sehingga untuk menambah jumlah polisi Mesir satu orang saja terpaksa membutuhkan persetujuan dari bangsa Yahudi. Pada akhirnya keamanan Yahudi pun secara penuh harus dijaga oleh pihak Mesir. Kemudian diikuti dengan Perjanjian Wadi Arobah yang melanjutkan jejak Perjanjian Camp David, dan keamanan Yahudi pun harus dijaga oleh Yordania.
            Akhir dari perang 1973 di Suriah, dimana tentara Suriah pada awalnya berhasil menguasai lereng Thabariyah dan sekitarnya, yang semuanya itu diperoleh melalui peperangan hebat dalam posisinya di dataran tinggi Golan. Ternyata akhir dari semua itu adalah Kesepakatan Golan, yang menjaga keamanan bangsa Yahudi di dataran Golan.
            Kemudian akhir dari Perang Lebanon 2006,  ketika roket-roket pasukan perlawanan (Hizbullah) menghujani sejumlah lokasi di Israel, dan memenuhi hati orang-orang Yahudi itu dengan kepanikan dan ketakutan, namun akhir dari peperangan tersebut justru keluarnya Resolusi 1701 yang menjaga keamanan Yahudi di selatan Lebanon.
            Itulah akhir dari sikap kepahlawanan penduduk Gaza, yang akhirnya harus diakhiri dengan sejumlah langkah hina demi merealisasikan Resolusi 1860, melalui perjanjian keamanan antara Amerika dengan entitas Yahudi, yang bertujuan untuk menjaga keamanan entitas ini, baik di atas maupun di dasar laut. Kemudian ditutup dengan Konferensi Sharm Asy-Syaikh Arab-Eropa-Turki untuk menyusun hasil-hasil perjanjian keamanan yang mendukung dan mengukuhkan entitas Yahudi, serta memaksakan blokade senjata terhadap Gaza yang lebih kuat dan berbahaya daripada blokade sebelumnya. Semuanya itu berlangsung di depan mata para penguasa Muslim, mereka menyaksikan sendiri bahkan di antara mereka justru menyempurnakan dan memastikan blokade ini melalui sejumlah konferensi yang berlangsung secara pararel.
            Amerikalah yang memimpin serangkaian propaganda keamanan untuk mendukung entitas Yahudi. Meskipun demikian, kalau bukan karena dukungan dari para penguasa di negeri Muslim kepada Amerika, pasti Amerika tidak akan bisa membawa apapun di negeri-negeri kaum Muslim, baik itu perdamaian maupun peperangan.
            Wahai kaum Muslim, apakah setelah semuanya ini, masihkah Anda tidak menyadari bahwa sejatinya para penguasa itu adalah pelindung musuh-musuh kaum Muslim, dan bukan pelindungnya? Belum cukupkah semua musibah yang menimpa kaum Muslim selama ini, juga kehinaan dan kenistaan yang dibelenggukan ke leher kaum Muslim oleh para penguasa di negeri-negeri Muslim? Belum cukupkah semuanya ini untuk membulatkan azam dan tekad Anda untuk berjuang dengan sungguh-sungguh dan serius demi mendirikan Khilafah yang akan mengembalikan kemuliaan kaum Muslim? Hanya Khilafah yang mampu melindungi harta, darah, dan kehormatan kaum Muslim maupun non-Muslim yang mau tunduk pada aturan Islam.
            Wahai para Tentara Muslim, Anda adalah bagian dari umat yang memiliki vitalitas, umat terbaik yang pernah dilahirkan untuk seluruh umat manusia sejak Rasulullah saw. memimpinnya, lalu diteruskan oleh para Khulafaur Rasyidin, kemudian oleh para Khalifah setelahnya. Ingatlah nenek moyang anda yang menjadi pahlawan dan pasukan Mujahidin yang telah memimpin pasukan, menyebarluaskan Islam, membebaskan berbagai wilayah, mengalahkan musuh dan mencerai-beraikannya. Semua keberhasilan gemilang itu hanya dapat dilakukan dengan adanya Daulah Khilafah.
            Khilafah merupakan satu kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia, untuk menerapkan syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Rasulullah saw. bersabda:
“Akan ada fase kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada  fase Khilafah berdasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada fase penguasa yang zalim, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya, jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Setelah itu akan datang kembali Khilafah ala Minhajin Nubuwah (berdasarkan metode kenabian)”. Kemudian Baginda saw. diam”. [HR. Ahmad]

Oleh: Anita Komala Dewi (26 Januari 2009)
Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

Menyambut Tahun Baru 2009: Kado Pahit untuk Rakyat


            Untuk kesekian kali, DPR-yang katanya wakil rakyat-menunjukkan “wajah asli”-nya: Mengkhianati Rakyat! Menjelang tahun baru 2009 ini, rakyat “dihadiahi” dua kado pahit, yakni UU Minerba (Undang-undang Mineral dan Batu Bara) yang disahkan pada 16 Desember 2008 dan hanya berselang satu hari, tepatnya tanggal 17 Desember 2008 pemerintah mengesahkan UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan).
            UU Minerba-yang akan menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan-semakin menyempurnakan lepasnya peran pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam milik rakyat dan menyerahkannya pada para pemilik modal (swasta/asing). Adapun UU BHP, secara tidak langsung menjadi gambaran yang lebih meyakinkan lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya.
            Mengapa Indonesia memerlukan UU Minerba? Jawabnya: “Demi menjamin kepastian hukum bagi kalangan investor”. Lagi-lagi begitulah alasan “logis” pemerintah. Hanya demi “kepastian hukum” bagi kalangan penguasa, pemerintah tega mengabaikan kepentingan rakyat.
            Terikat UU BHP, ini lebih untuk melegalisasi aksi lepas tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, walau anggapan ini dibantah oleh Ketua Komisi X DPR, Irwan Prayitno. Ia mengatakan UU BHP ini justru bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah bukankah UU BHP ini masih mewajibkan masyarakat untuk membayar pendidikan sebesar sepertiga biaya operasional?
            Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara harus mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam seperti tambang minyak, mineral, batu bara, dll dikelola oleh negara secara amanah dan propesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat.
            Karena itu, sudah saatnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini menolak segala bentuk liberalisasi yang dipaksakan atas negeri ini. Umat Islam oun dituntut tidak hanya setuju terhadap penerapan syari’ah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan berjuang untuk segera mewujudkannya.
“Apakah sistem hukum Jahiliyah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. Al Maidah (5): 50]


Anita Komala Dewi (31 desember 2008)
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab

Peran dan Tanggung Jawab Mahasiswa

Tanggal 30 Oktober merupakan detik-detik menegangkan bagi saya dan 11 orang “calon” mahasiswa UPI lainnya. Karena keterbatasan ekonomi, kami terancam tidak dapat mengenyam pendidikan di bangku kuliah apalagi menyandang “gelar” mahasiswa. Namun pada akhirnya, setelah melalui berbagai rintangan dan seleksi alam, dimana hanya orang-orang yang memiliki tekad kuat dan kesadaran untuk mengenyam pendidikan yang layak, yang sanggup bertahan hingga batas waktu penangguhan.
            Kunci kekuatan sebuah Negara terletak pada para pemudanya. Di sinilah seharusnya masyarakat bahkan Rektor UPI harus mau mengakui bahwa kamilah Mahasiswa sesungguhnya, mahasiswa yang memiliki idealisme, kecerdasan, sikap kritis, keberanian dan pengorbanan. Ditangan kamilah negeri ini akan dibentuk. Oleh karena itu, dengan semangat Sumpah Pemuda saya ingin menegaskan bahwa kami bahkan seluruh anak Indonesia lainnya tidak patut untuk di sia-siakan. Bukankah setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan? Pendidikan bukanlah hanya milik mereka yang mempunyai uang (modal).
            Tepat tanggal 30 Oktober kemarin akhirnya saya dan 11 orang mahasiswa penangguhan lainnya dapat menyelesaikan registrasi tepat waktu, sebagaimana yang diberitakan oleh berbagai media masa, kami mendapatkan bantuan dari berbagai pihak diantaranya IKA (Ikatan Alumni) UPI, GEMA PENA UPI, dan tidak terlepas pula bantuan dan peran dari segenap mahasiswa UPI yang peduli dan sadar akan pentingnya pendidikan. Di sini saya semakin menyadari bahwa peran aktif mahasiswa merupakan kunci kebangkitan suatu bangsa, dimana mahasiswa atau pemuda memiliki tanggungjawab dalam mengoreksi dan memperbaharui keadaan, melawan diktatorisme, dan mengembalikan hak-hak rakyat.

By: Anita Komala Dewi (31 Oktober 2008)
Mahasiswa Baru di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

BBM Naik Rakyat Kian Menjerit

            Akhirnya harga BBM naik lagi. Kepastian ini diumumkan Pemerintah melalui Menko Ekonomi, Boediono setelah rapat terbatas di Kantor Presiden Senin lalu (5/5). Yang amat disesalkan, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM ini justru diberlakukan di tengah jeritan masyarakat yang kian menderita akibat himpitan ekonomi dan beban hidup yang semakin berat. Tidak jarang bagi yang tipis iman, frustasi bahkan hingga bunuh diri. Karena itu apapun alasannya, kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM rata-rata 30% adalah kebijakan yang zalim karena akan semakin menyengsarakan rakyat.

            Betulkah tidak ada langkah lain?
            Sebagaimana yang sudah-sudah, ketika krisis ekonomi terjadi, kebijakan menaikkan tarif kebutuhan pokok seperti BBM pada akhirnya selalu menjadi ”langkah terakhir” yang menjadi favorit Pemerintah. Dengan menyebut kebijakan menaikkan BBM sebagai ”langkah terakhir” Pemerintah seolah berupaya meyakinkan masyarakat bahwa Pemerintah telah bersungguh-sungguh menempuh cara-cara lain diluar ”langkah terakhir” tersebut. Padahal jelas masih ada cara atau langkah lain yang bisa ditempuh, diantaranya:
  1. Penghematan belanja rutin.
Ini sudah dilakukan Pemerintah, yang memotong anggaran untuk kementrian dan lembaga sebagai kompensasi kenaikan subsidi yang berkaitan dengan BBM, termasuk subsidi listrik. Hendaknya penghematan ini juga dilakukan diseluruh daerah.
  1. Memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI dalam bentuk SBI yang bunganya jelas menambah beban pemerintah.
  2. Penangguhan pembayaran utang luar negeri. Penangguhan ini jelas akan membantu mengurangi beban berat APBN.
Selain itu, menurut ekonom Dr. Hendri Saparini, pemerintah bisa mengurangi anggaran subsidi bank rekap yang mencapai puluhan triliun rupiah. Langkah lainnya adalah memotong rantai broker yang sangat merugikan.
Inilah konsekuensi logis dari penerapan sistem Kapitalisme global yang semakin mencengkramkan kukunya di Indonesia. Cengkeraman tersebut antara lain melalui lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia yang terus memaksakan kehendaknya terhadap Indonesia, khususnya melalui beragam UU dan berbagai macam kebijakan ekonomi.
Karena itu diperlukan keberanian Pemerintah dan rakyat Indonesia untuk keluar dari jeratan Kapitalisme global ini, untuk kemudian segera memberlakukan sistem yang baik, yamg tidak lain bersumber dari sang Pencipta, Allah Yang Maha Tahu, Allah Swt. berfirman :
”Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik (sistem hukumnya) daripada Allah bagi orang-orang yang yakin.”
[QS. Al-Maidah (5) :50]
      Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang amanah. Pemimpin yang baik antara lain yang tidak akan pernah tega membebani rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang menyengsarakan mereka, karena ia takut dengan doa Rasulullah Saw :
”Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku lalu dia membebani mereka, maka bebanilah dia.” [HR. Muslim dan Ahmad]


By: Anita Komala Dewi (13 Mei 2008)
Pelajar di SMA Pasundan 7 Bandung

Partai Harapan Rakyat

Dukungan dan kepercayaan rakyat saat ini terhadap partai-partai politik semakin mengalami penurunan. Terbukti, berdasarkan jajak pendapat Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menjelang Pemilu 2004 menyatakan bahwa 60% responden menyatakan tidak puas dengan hasil Pemilu 1999. Bukan hanya itu saja, terbukti dalam Pemilu Calon Gubernur Jabar beberapa hari yang lalu pun, TPS-TPS sepi dari pengunjung padahal berbagai cara telah diupayakan untuk menarik perhatian masyarakat, ada panitia yang menyediakan sayur-mayur sebagai oleh-oleh untuk para ibu, adapula panitia yang berpakaian khas Jawa Barat dan menyuguhkan penganan serta  kesenian Jabar. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah karena kesalahan dan ketidaklancaran kartu pemilih atau justru karena rakyat memilih untuk Golput (tidak memberikan suaranya pada partai manapun)?!
            Lalu mengapa mayoritas masyarakat kecewa terhadap seluruh partai politik yang ada  sekalipun itu partai Islam? Sudah menjadi rahasia umum bahwa partai-partai yang ada tak pernah mampu meningkatkan kesejahteraan dan keamanan menyeluruh bagi rakyatnya. Mereka seolah berlomba untuk kepentingannya sendiri, berlomba mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan pribadi. Bukannya menyejahterakan dan melayani rakyat yang ada justru rakyat yang melayani dan menyejahterakan mereka. Hanya segelintir orang diantara mereka yang benar-benar merasa bertanggungjawab akan amanah yang dititipkan padanya. Kalaupun mereka bekerja keras namun sistem yang ada tetap seperti ini maka itu pun akan terasa percuma.
            Lalu partai Islam seperti apakah yang patut di harapkan?
Allah Swt. berfirman  :
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amr ma’ruf nahi munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran : 104]
            Beberapa mufassir seperti al-Qurthubi, Ath-Thabari dan al-Bardhawi dalam kitab tafsirnya masing-masing menafsirkan bahwa ayat ini menegaskan perintah Allah kepada kaum Muslim untuk mewujudkan adanya kelompok atau jamaah yang berfungsi menyerukan kebajikan dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
            Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk menyeru para penguasa agar melaksanakan syariah Islam dan melarangnya menjalakan  yang sesuatu bertentangan dengan syariah Islam. Aktivitas demikian merupakan aktivitas poliyik sehingga kelompok atau jamaah yang dikatakan dalam ayat di atas haruslah berbentuk partai politik. Cakupan politik sendiri sangat luas, bukan hanya politik kotor seperti sekarang ini. Dalam Islam politik berarti megurusi urusan umat mulai dari hal terkecil seperti sandang, pangan dan papan hingga masalh pendidikan, kesehatan, pergaulan, ekonomi dan pemerintahan
            Dengan demikian dapat disimpulkan, partai Islam yang mampu menyerukan dan memperjuangkan ideologi Islam secara terang-teranganlah yang  dapat kita harapkan. Bukan partai yang berkedok Islam namun tetap saja menganut sistem sekuler yang menyengsarakan rakyat.

By: Anita Komala Dewi (18 April 2008)
Pelajar di SMA PAsundan 7 Bandung