Jumat, 30 September 2016

AL-HIKAM: Cahaya Hati

“Bagaimana hati akan bercahaya, jikalau gambaran-gambaran dunia sudah melekat dalam cerminnya?
Bagaimana ia akan menuju Allah Ta’ala, jikalau masih terikat syahwat-syahwatnya?
Bagaimana ia ingin memasuki hadirat-Nya, jikalau belum membersihkan dirinya dari junub kelalaian-kelalaiannya?
Bagaimana ia bisa berharap mampu memahami inti rahasia-rahasia, jikalau ia belum bertaubat dari kesalahan-kesalahannya?

            Bagaimana mungkin hati Anda akan mendapatkan cahaya Allah Subhanahu wa Ta’ala, jikalau Anda masih menyekutukan-Nya dengan makhluk? Anda lebih mementingkan dunia daripada diri-Nya. Anda mengerjakan shalat hanya untuk mengharapkan pujian dari makhluk. Jikalau Anda bershadaqah maka Anda mengharapkan balasan materi semata. Jikalau Anda menunaikan haji maka Anda ingin dihormati. Ikhlaskanlah niat Anda terlebih dahulu, maka semua hasrat dunia akan mengikuti Anda, walaupun Anda tidak menginginkannya. Jikalau Anda ingin mendapatkan cahaya-Nya maka lepaskanlah gambaran-gambaran dunia yang ada di dalam hati Anda. Ikhlaskanlah diri dalam beribadah kepada-Nya.
            Bagaimana Anda bisa mencicipi manisnya mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, jikalau Anda masih larut dalam syahwat-syahwat keduniaan? Jikalau tidak memiliki uang maka Anda akan meninggalkan ibadah kepada-Nya. Anda sibuk dengan dunia. Jikalau Anda memiliki harta maka Anda melupakan-Nya begitu saja. Syahwat dunia telah membelenggu Anda, sehingga Anda pun terhijab mendapatkan makrifat-Nya. Jikalau Anda ingin menuju-Nya maka lepaskanlah ikatan itu. Ikatan syahwat itu ibarat benalu yang jikalau dibiarkan maka akan menguasai Anda sehingga Anda sulit melepaskannya.
            Bagaimana Anda bisa melihat-Nya di akhirat kelak, jikalau semasa di dunia ini Anda lalai dalam beribadah kepada-Nya? Hanyalah orang-orang yang shalih dan bersungguh-sungguh yang berhak mendapatkannya.
            Oleh karena itu, jikalau datang waktu shalat maka kerjakanlah pada waktunya. Jikalau datang waktu berzakat maka keluarkanlah segera. Dan, jikalau kemampuan haji sudah terpenuhi maka tunaikanlah segera. Jangan dilalaikan.
Dan bagaimana Anda akan mampu memahami rahasia-rahasia Ilahi, jikalau Anda tidak pernah bertaubat nasuha kepada-Nya? Kalaupun Anda bertaubat maka biasanya Anda hanya bisa meninggalkan perbuatan dosa itu secara sementara. Tidak lama berselang, Anda akan kembali mengerjakan perbuatan dosa.
            Bagaimana hati akan bersinar jikalau hati Anda terus dilumuri oleh dosa dan maksiat? Bersihkan segera dengan taubat nasuha, agar hati menjadi bening dan mendapatkan pantulan cahaya Iahi.


sumber: buku Syarah Al-Hikam karya D.A.Pakih Sati, Lc.

AL-HIKAM: Amal dan Ikhlas


“Amal adalah kerangka yang tegak dan ruhnya adalah rahasia ikhlas yang ada di dalamnya.”

            Amalan apapun yang Anda kerjakan adalah ibarat patung atau kerangka yang tidak ada nyawanya sama sekali. Amal hanyalah bentuk yang tidak bergerak dan tidak ada yang menggerakkan. Amal hanya bisa digerakkan jikalau ada ruhnya. Adapun ruh dari amal itu ialah ikhlas.
            Ketika Anda mengerjakan suatu amalan maka ada dua syarat yang perlu Anda penuhi, sehingga amalan Anda diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
            Pertama, Ikhlas. Ikhlas adalah tiang utama suatu amalan. Amalan apapun yang tidak didasari oleh keikhlasan maka tidak akan diterima. Jangan sampai seorang hamba meniatkan atau menyandarkan amalan dan ibadah kepada selain Allah Ta’ala. Walaupun ia membaca nama Allah ketika melakukannya, namun niat yang tertanam sudah menyekutukan Allah, maka amalannya tetap batal dan tidak sah.
            Kedua, harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Boleh jadi seserang menghabiskan seluruh waktunya untuk beramal dan beramal, namun jikalau tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka amalannya sia-sia belaka. Ia hanya mendapatkan nol besar dan kelelahan semata.
            Dua elemen ini harus ada dalam suatu amalan agar diterima di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

sumber: Buku Syarah Al-Hikam karya D.A.Pakih Sati, Lc.

AL-HIKAM: Amalan yang Berbeda-beda

“Jenis amalan yang berbeda-beda adalah akibat dari keadaan yang berbeda-beda pula.”

            Berbeda-beda amalan yang dikerjakan oleh seorang hamba dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala merupakan efek dari keadaan yang berbeda-beda pula, baik secara fisik, materi, dan lain sebagainya. Seseorang yang berbadan sehat, tentu berbeda amalannya dengan seseorang yang sedang menderita sakit. Seseorang yang memiliki limpahan harta, tentu berbeda amalannya dengan seseorang yang hidup sederhana atau miskin.

            Hanya saja,  perlu diketahui bahwa pahala amalan seseorang tergantung pada kesulitan yang dialami pelakunya. Uang seribu rupiah yang dikeluarkan oleh seorang miskin, tentu berbeda nilai dan tingkat kesulitannya bagi orang kaya yang bershadaqah sebanyak seratus ribu.

            Bagi orang miskin, uang seribu itu sangat berharga, bahkan bisa digunakan untuk menambah uang makan. Demi bershadaqah, terkadang ia rela menahan nafsu makannya. Berbeda halnya dengan orang kaya, baginya uang seribu atau seratus ribu hanyalah secuil dari setumpukan hartanya. Tidak berpengaruh apa-apa sama sekali ketika ia mengeluarkannya.

            Pada intinya, timbangan amal itu adalah ikhlas, bukan banyak atau sedikit jumlahnya, karena keadaan masing-masing orang berbeda-beda.


sumber: Buku Syarah Al-Hikam karya D.A.Pakih Sati, Lc.