Minggu, 23 Desember 2012

SALAH KELOLA KEKAYAAN ALAM INDONESIA


Akhir bulan Oktober lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru saja mendapat gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath –gelar tertinggi dalam Order of the Bath- dari Ratu Kerajaan Inggris, Ratu Elizabeth II. Penghargaan dari Kerajaan Inggris ini diberikan kepada Presiden SBY oleh Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip seusai jamuan santap siang di Blue Drawing Room, Istana Buckingham, London, Inggris, Rabu (31/10) pukul 14.30 waktu setempat.
            Gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath (Ksatria Salib Agung dalam Ordo Pemandian) ini tentulah bukan pemberian yang gratis. Dalam sejarahnya, pemberian gelar “kehormatan” tersebut tak jarang dijadikan strategi Negara penjajah untuk mengamankan kepentingannya. Dahulu hal ini dilakukan terhadap raja-raja di nusantara. Strategi tersebut juga digunakan oleh Inggris untuk menancapkan kontrol finansialnya terhadap Mesir.
Pada tahun 1875, Inggris membeli bagian share gubernur Mesir, kala itu Ismail Pasha, atas terusan Suez seharga £ 3.976.582 dan sejak saat itu kontrol Anglo-French terhadap keuangan Mesir berhasil ditancapkan. Ismail Pasha lalu diberi gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath begitu pula anaknya Tawfik Pasha, sehingga kontrol Inggris itu pun bisa terjamin. Hal yang mirip dengan yang terjadi saat ini.
            Salah satu investasi besar Inggris di Indonesia yakni dalam sektor migas. Melalui Brithis Petroleum (BP) yang mendapatkan kontrak pengelolaan gas blok Tangguh di Papua, Inggris mengeruk kekayaan Indonesia. Saat ini pabrik LNG BP Plc di Teluk Bintuni Papua memiliki dua train (dapur) dengan kapasitas 7,6 juta metrik ton LNG per tahun dan akan ditambah menjadi tiga train yang direncanakan berkapasitas 3,8 metrik ton LNG per tahun.
Investasi Inggris di Indonesia direncanakan akan mencapai US$ 12 miliar (7,5 miliar poundsterling) atau setara dengan Rp 108 triliun. Investasi sebesar Rp 108 triliun ini dimaksudkan untuk pembangunan fasilitas ketiga LNG liquefaction train (Train 3) di Papua Barat (detik finance).
            BP Plc sudah menyampaikan proposal pengembangan kilang LNG Tangguh awal September lalu. Dalam waktu yang relatif singkat yakni kurang dari dua bulan, tanpa proses tender dan transparan, proposal itu mendapat persetujuan dari pemerintahan RI.
Pemerintah resmi menyampaikan persetujuan atas proposal pengembangan kilang LNG Tangguh ini pada saat pertemuan bilateral Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Inggris David Cameron di London, Kamis (1/11), satu hari setelah pemberian gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath pada Presiden SBY.
Diperkirakan sektor migas ini memberi keuntungan sekitar Rp 300 triliun dalam setahun. Namun sudahkah kerjasama yang dibangun antara Indonesia dan Inggris ini memberi dampak berupa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia? Sejatinya apa yang didapat negeri ini tidak pernah sebanding dengan apa yang didapat oleh Inggris dan negeri-negeri penjajah kapitalis lainnya. Kekayaan alam negeri ini terus mengalir menyejahterakan warga negara Inggris.
Ironi, dengan adanya penyerahan pengelolaan sumber daya alam negeri ini kepada pihak swasta dan asing berarti Pemerintah lebih mengedepankan kesejahteraan negeri-negeri penjajah kapitalis dibanding kesejahteraan rakyatnya sendiri.
            Jika kita tengok kondisi Indonesia hari ini, angka kemiskinan jelas kian melambung. Menurut BPS, penduduk miskin Indonesia tahun 2011 dengan pengeluaran kurang dari Rp 230.000 mencapai 30 juta jiwa. Jika ditambah dengan penduduk ‘hampir miskin’ yang pengeluarannya antara Rp 233.000 – Rp 280.000, jumlahnya meningkat menjadi 57 juta orang atau 24% dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini akan tampak kian membengkak jika kita menggunakan standar kemiskinan internasional, yakni penduduk dengan pengeluaran US$ 2 per hari. Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2009 sebanyak 50,7% atau lebih dari separuh penduduk negeri ini masih dalam kategori miskin (World Bank, World Development Indicators 2011). Kerjasama antara indonesia dan pihak swasta asing selama ini jelas tak memberikan efek kesejahteraan bagi negeri ini.

Salah Kelola Kekayaan Alam Indonesia
            Pangkal semua masalah ini adalah sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi. Akibatnya, sejak masa Orde Baru hingga saat ini kekayaan alam Indonesia telah diserahkan dengan harga yang sangat murah kepada swasta dan asing. Melalui berbagai produk Undang-undang seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal dan sebagainya arah ekonomi negeri ini telah digiring pada ekonomi neoliberal.
            Semua undang-undang yang memberikan peranan besar kepada swasta dan kapitalis asing disahkan oleh DPR tanpa ada upaya pencegahan sedikit pun. Semua ini berasas pada kepercayaan para penguasa dan pejabat di Indonesia pada sistem ekonomi liberalisme dan mekanisme pasar. Ditambah lagi dengan mental korup mereka yang hanya berpikir untuk kepentingan diri mereka saja. Akibat lebih lanjut, sebagian besar kekayaan alam kita dikuasai oleh asing.
            Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam. Menurut pandangan Islam, hutan, air, dan energi adalah milik umum. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api” (HR. Abu Daud, Ahmad & Ibnu Majah).
Maka dari itu, pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management), tetapi harus dikelola sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk.
            Untuk pengelolaan barang tambang dijelaskan oleh hadits riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hammal yang menceritakan bahwa dirinya pernah meminta kepada Rasulullah saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasulullah saw. meluluskan permintaan tersebut, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)”. Rasulullah saw. kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut dari dia”. (HR. At-Tirmidzi)
            Dalam hadits ini, yang menjadi fokus bukan saja pada garam, melainkan tambangnya. Terbukti ketika Rasulullah saw. mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, beliau menarik kembali pemberian itu. Karena itu, penarikan kembali keputusan Rasulullah saw. atas permintaan Abyadh adalah ‘illat dari larangan individu untuk memiliki sesuatu yang menjadi milik umum. Karena itu menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, berbagai barang tambang yang jumlahnya sangat besar seperti migas,batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya termasuk milik umum yang wajib pengelolaan atasnya dikelola oleh negara. Wallaahu a’lam bi ash-showaab

Mewujudkan Kesejahteraan Guru dan Sistem Pendidikan Ideal dengan Islam


Berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dilakukannya sertifikasi guru dan dosen adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen, dimana diharapkan peningkatan pendapatan guru dan dosen mampu mendorong pada peningkatan kualitas dan profesionalisme guru dan dosen yang kemudian berdampak pada peningkatan kualitas anak didik.
            Namun ironinya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mae Chu Chang (UPI, 17 Oktober 2012) tentang “Finding and Lessons from Teacher Reform in Indonesia” diperoleh salah satu hasil bahwa tidak ada perbedaan kompetensi antara guru tetap yang bersertifikasi dengan guru tetap yang tidak bersertifikasi, artinya tidak ada dampak antara peningkatan pendapatan guru, berupa pendapatan profesional (yang setara dengan satu kali gaji) terhadap peningkatan kualitas anak didik. Dengan kata lain, kebijakan sertifikasi guru selama ini telah gagal dalam meningkatkan kualitas guru.
            Rendahnya kualitas guru, baik dari sisi penguasaan materi keilmuan dan metode pengajaran menghasilkan siswa-siswa yang hanya menerima pelajaran sebatas hafalan yang akan keluar dalam ujian, tanpa berefek pada pola sikap dan pola pikir anak didik. Kesalahan metode pembelajaran dan kurikulum sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dalam bidang-bidang ilmu yang dipelajari, memberi dampak pada output didik yang hanya pintar secara teori namun rusak secara karakter dan tidak mampu memecahkan permasalahan kehidupan. Sebagai contoh Ujian Nasional yang menerapkan”one size fits all” telah mematikan daya berpikir kritis dan kreatif peserta didik (Tilaar: KONASPI 7, 2012). Infrastruktur pendidikan yang tidak memadai dan rusak cukup memperparah kondisi yang ada.
            Tentunya dosen dan Perguruan Tinggi Pendidikan sebagai pencetak para guru memiliki andil dalam rendahnya kualitas kompetensi guru. Kurangnya kedalaman ilmu dan kesibukan aktivitas di luar -entah untuk proyek maupun eksistensi diri- telah melalaikan Dosen dalam proses pengajaran, sehingga menghasilkan lulusan yang tidak memiliki bekal cukup sebagai pendidik. Di Indonesia, sejak Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) berubah menjadi universitas pada tahun 2000 berefek pada kematian lembaga yang menghasilkan guru profesional. Fakultas Ilmu Pendidikan bukannya lebih maju, tetapi semakin dipinggirkan di dalam proses metamorfosa IKIP menjadi Universitas (Tilaar: KONASPI, 2012). Pendidikan Tinggi gagal dalam mencetak para guru berkualitas.

Sistem Kapitalisme Sekulerisme sebagai Akar Masalah
            Sistem kapitalisme telah menciptakan sistem pendidikan yang sekuler dan materialistis. Pendidikan semata-mata berorientasi materi yaitu pemenuhan lapangan pekerjaan, dan sekuler yaitu memisahkan nilai-nilai agama dalam proses pembelajaran. Pengembangan soft skill seperti minat, bakat, dan sebagainya semata-mata untuk memenuhi keinginan dunia kerja. Sebagaimana ungkapan Musliar Kasim, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Pendidikan, “Karena kesempatan untuk maju di dunia kerja, lebih 80 persen ditentukan oleh soft skills ini” (KONASPI 7 Yogyakarta, 31/10/2012).
Pendidikan yang semata berorientasi materi dan berasaskan sekulerisme ini tak pelak menjadikan sebagian orang memilih profesi guru sebatas agar mendapat jaminan hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Tingginya biaya yang dikeluarkan saat menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi diharapkan mampu tergantikan saat kelak menjadi Pegawai Negeri Sipil.
            Kebijakan pemerintah dalam Sistem Pendidikan yang lebih berorientasi pada materi ternyata tak lepas dari permintaan asing. Semenjak Indonesia bergabung dalam World Trade Organization (WTO), telah diterbitkan UU No. 7 tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing the World Trade Organization. Sebagai konsekuensi dari perjanjian tersebut, Indonesia makin terbuka terhadap segala produk asing termasuk produk pendidikan. Sebagai anggota WTO, Indonesia tidak bisa mengelak dari seluruh kesepakatan yang dibuat dan ditandatangani, termasuk kesepakatan meliberalisasi sektor pendidikan. Indonesia juga harus menandatangani General Agreement on Trade in Service (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, dimana pendidikan tinggi adalah salah satunya.
Target Pemerintah, dalam hal ini Diknas dalam jargon “Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045” pun ternyata tidak lepas dengan target memenuhi tantangan dunia kerja yang mengacu pada Free Trade Area. Hal tersebut agaknya menjadi bukti bahwa Indonesia selama ini masih dijajah!

Islam sebagai solusi
            Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan. Besarnya perhatian terhadap pendidikan ditunjukkan oleh Rasulullah saw. ketika menetapkan tebusan bagi tawanan perang Badar dengan mengajar membaca sepuluh anak Muslim. Islam sebagai ideologi yang sempurna memiliki aturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan termasuk salah satunya sistem pendidikan.
            Dalam Islam, nash-nash syariah telah menetapkan bahwa pendidikan merupakan hajah asasiyyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di tengah-tengah masyarakat. Diantara nash-nash syari’ah yang menetapkan pendidikan sebagai hajah asasiyyah adalah sabda Nabi saw.:
            “Permisalan hidayah dan ilmu yang Allah SWT sampaikan kepada diriku bagaikan air hujan yang menimpa sebidang tanah. Di antara tanah itu ada tanah baik yang mampu menyerap air dan menumbuhkan rerumputan serta pepohonan yang sangat banyak. Di antara tanah itu ada pula tanah liat yang mampu menahan air sehingga Allah SWT memberikan manfaat kepada manusia dengan tanah tersebut; manusia bisa meminum air darinya, mengairi kebun-kebunnya dan memberi minum hewan-hewan ternaknya. Air hujan itu juga menimpa tanah jenis lain, yaitu tanah datar lagi keras yang tidak bisa menahan air dan menumbuhkan rerumputan. Demikianlah, ini adalah perumpamaan orang yang faqih terhadap agama Allah, dan orang yang bisa mengambil manfaat dari apa-apa yang telah Allah sampaikan kepada diriku sehingga ia bisa belajar dan mengajarkan (ilmu tersebut kepada orang lain). Ini juga perumpamaan orang yang menolak hidayah dan ilmu dan tidak mau menerima hidayah Allah SWT yang dengan itulah aku diutus” (HR. Bukhari & Muslim).
            Di dalam hadits ini dituturkan bahwa penerimaan dan penolakan manusia terhadap hidayah dan ilmu diidentikan dengan sebidang tanah dan air hujan. Air hujan termasuk hajah asasiyyah bagi manusia, yang kalau tidak dipenuhi akan menyebabkan kebinasaan bagi manusia. Pengidentikan ilmu dan hidayah dengan air hujan menunjukkan bahwa ilmu dan hidayah merupakan hajah asasiyyah sebagaimana air hujan.
            Di dalam kitab Al-Iqtishadiyyah al-Mutsla disebutkan bahwa jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) bagi seluruh rakyat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan berada di tangan negara.
            Atas dasar itu, Negara harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah. Dalam konteks pendidikan, jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh warga negara bisa diwujudkan dengan cara menyediakan pendidikan terjangkau bahkan gratis di berbagai jenjang pendidikan bukan sebatas sekolah menengah akhir. Negara juga wajib menyediakan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di bidangnya, sekaligus memberikan gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.
            Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., beliau pernah menggaji guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gr emas). Luar biasa. Ketika kesejahteraan guru telah terjamin, tentu tidak ada lagi alasan untuk tidak profesional dalam bekerja dan ketika pendidikan bisa diperoleh dengan gratis maka tidak akan lahir lagi generasi-generasi materialistis seperti dalam sistem kapitalisme. Pendidikan sepenuhnya ditujukan untuk menimba ilmu dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
            Berbicara tentang sistem pendidikan tidak akan terlepas dari sistem dan kebijakan ekonomi-politik suatu negara. Islam telah mengatur bahwa sumber pembiayaan pendidikan dapat diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam di tangan negara bukan diserahkan kepada pihak swasta dan asing. Seperti kita ketahui, saat ini berbagai kekayaan alam Indonesia dikuasai oleh asing, contohnya: eksplorasi Migas hampir 90% dikuasai asing dan swasta yakni Chevron 45% (AS), Total 10% (Perancis), Conaco 8% (AS) dan Medco 6%. Tambang emas dan tembaga sebagian besar dikuasai oleh PT Freeport (AS) dan PT Newmont Nusa Tenggara (AS).
Seandainya kekayaan alam Indonesia dikelola berdasarkan aturan Islam yakni dikelola sepenuhnya oleh negara, maka pendidikan gratis di berbagai jenjang pendidikan pun bukanlah hal yang utopis. Begitulah Islam mampu mensejahterakan guru dan menciptakan iklim pendidikan yang ideal.

ENYAHKAN NARKOBA DENGAN SISTEM ISLAM


Sungguh mustahil mewujudkan masyarakat yang bersih dari narkoba jika hukum yang digunakan saat ini masih hukum buatan manusia yakni demokrasi dengan akidah sekulerisme. Hukum bisa dengan mudah diperjualbelikan bahkan diubah sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Hanya dengan penerapan syariat Islam yang kaffah dalam bingkai Khilafah masyarakat yang bersih dari kemaksiatan mampu diwujudkan.
Kian maraknya penyalahgunaan Narkoba tidak lain dan tidak bukan akibat akidah sekulerisme yang kini menjadi landasan kehidupan dalam bermasyarakat. Sekulerisme meniscayakan adanya pemisahan agama dari kehidupan. Gaya hidup hedonis dan permisif (serba boleh) pun semakin menjamur akibatnya. My body my right. Prinsip hidupnya bukan lagi halal haram melainkan “uang saya sendiri, badan saya sendiri, maka terserah saya donk”. Akhirnya miras, narkoba, perzinaan, free sex, pelacuran, dsb menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat di negeri ini.
Sistem hukum yang diharapkan mampu memberantasnya nyata-nyata tumpul. Pertengahan bulan ini, presiden Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi bagi terpidana mati kasus narkoba Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola alias Tania dan mengubah hukuman keduanya menjadi penjara seumur hidup. Sebelumnya, kebijakan yang sama diperuntukkan bagi Schapelle Leigh Corby, seorang warga negara Australia yang tertangkap tangan membawa narkoba masuk ke Bali dan kemudian terkena sanksi penjara selama 20 tahun. Corby mendapatkan grasi berupa pengurangan hukuman 5 tahun.
Kebijakan tersebut seolah memberikan kesan bahwa pemimpin kita mentoleransi berkembangnya “pasar narkoba” di tanah air, sekaligus seolah melupakan reaksi dan kritikan pedas dari berbagai elemen masyarakat atas pemberian grasi terhadap pengedar Narkoba. Ironis.
Inikah keadilan?
Sanksi hukum yang diberlakukan bagi para pengedar narkoba sungguhlah lunak. Vonis mati yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera justru dibatalkan oleh MA dan grasi presiden. Bandar dan pengedar narkoba mendapat peluang pengurangan masa tahanan. Bahkan lebih parah lagi, mereka tetap dapat mengontrol penyebaran narkoba dari dalam penjara. Tak heran jika kita dapati pula bahwa para aparat penegak hukumnya pun terjerat narkoba.
Dengan dalih kemanusiaan, hakim MA membatalkan vonis mati dua gembong narkoba. Hal ini karena dianggap bertentangan dengan hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 dan melanggar HAM. Sejumlah LSM yang menolak vonis hukuman mati beralasan bahwa vonis hukuman mati terbukti tidak menyurutkan angka kejahatan narkoba.
Anggapan bahwa vonis mati tidak memberikan efek jera jelas tidak didukung bukti. Fakta yang ada menunjukkan bahwa dari sekian vonis hukuman mati yang sudah dijatuhkan belum ada yang dieksekusi. Saat ini masih ada 50 terpidana mati kasus narkoba yang belum dilaksanakan. Disamping kalaupun dilaksanakan, masyarakat tidak pernah mengetahuinya. Wajar saja efek jeranya belum terasa, sebab memang belum dilaksanakan.

Enyahkan Narkoba dengan Sistem Islam!
            Ketika syariat Islam diterapkan, maka peluang penyalahgunaan hukum akan tertutup. Landasan akidah Islam mewajibkan Negara membina ketakwaan warganya. Ketakwaan yang terwujud akan mencegah seseorang terjerumus dalam kejahatan narkoba. Setiap individu akan menyadari benar bahwa ada hari akhir dimana setiap amal perbuatan dimintai pertanggungjawabkan. Kehidupan bernegara dilandasi dengan suasana keimanan yang kental bukan seperti saat ini.
            Alasan ekonomi yang menjadi salah satu penyebab seseorang terjerat narkoba pun bisa dienyahkan, karena sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam meniscayakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik dia seorang Muslim ataupun non-Muslim. Semua pemenuhan kebutuhan pokok setiap rakyat (papan, pangan, dan sandang) juga kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, layanan kesehatan, dan keamanan) akan dijamin oleh Negara. Hal ini dapat diwujudkan dengan memanfaatkan dan mengelola seluruh sumber daya alam sesuai syariat Islam yakni diwajibkan pengelolaannya oleh Negara dan bukan diserahkan pada pihak swasta asing seperti saat ini.
            Secara hukum, dalam syariah Islam, narkoba adalah haram sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra: “Rasulullah saw. melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Sebagai zat haram, siapa saja yang mengkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti telah melakukan jarîmah (tindakan kriminal) yang termasuk sanksi ta’zir. Pelakunya layak dijatuhi sanksi dimana bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi, bisa sanksi diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali, selain harus diobati/ direhabilitasi oleh Negara secara gratis, cukup dijatuhi sanksi ringan saja. Jika berulang-ulang tertangkap menggunakan narkoba sanksinya bisa lebih berat. Terhadap pengedar tentu tak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan atau bahkan diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba mereka juga membahayakan masyarakat. Gembong narkoba (produsen atau pengedar besar) layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.
Jika vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibatalkan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul Ummah, cet. li. 1990) “adapun untuk ta’zir dan mukhalafat, vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan, maka telah mengikat seluruh kaum Muslim, karena itu tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ditetapkan oleh Qadhi, maka tidak bisa dibatalkan sama sekali”.
Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui dan disaksikan oleh masyarakat seperti dalam had zina sesuai yang terdapat dalam QS. An-Nur ayat 2. Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejahatan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. Wallâhu a’lam.