Minggu, 23 Desember 2012

ENYAHKAN NARKOBA DENGAN SISTEM ISLAM


Sungguh mustahil mewujudkan masyarakat yang bersih dari narkoba jika hukum yang digunakan saat ini masih hukum buatan manusia yakni demokrasi dengan akidah sekulerisme. Hukum bisa dengan mudah diperjualbelikan bahkan diubah sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Hanya dengan penerapan syariat Islam yang kaffah dalam bingkai Khilafah masyarakat yang bersih dari kemaksiatan mampu diwujudkan.
Kian maraknya penyalahgunaan Narkoba tidak lain dan tidak bukan akibat akidah sekulerisme yang kini menjadi landasan kehidupan dalam bermasyarakat. Sekulerisme meniscayakan adanya pemisahan agama dari kehidupan. Gaya hidup hedonis dan permisif (serba boleh) pun semakin menjamur akibatnya. My body my right. Prinsip hidupnya bukan lagi halal haram melainkan “uang saya sendiri, badan saya sendiri, maka terserah saya donk”. Akhirnya miras, narkoba, perzinaan, free sex, pelacuran, dsb menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat di negeri ini.
Sistem hukum yang diharapkan mampu memberantasnya nyata-nyata tumpul. Pertengahan bulan ini, presiden Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi bagi terpidana mati kasus narkoba Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola alias Tania dan mengubah hukuman keduanya menjadi penjara seumur hidup. Sebelumnya, kebijakan yang sama diperuntukkan bagi Schapelle Leigh Corby, seorang warga negara Australia yang tertangkap tangan membawa narkoba masuk ke Bali dan kemudian terkena sanksi penjara selama 20 tahun. Corby mendapatkan grasi berupa pengurangan hukuman 5 tahun.
Kebijakan tersebut seolah memberikan kesan bahwa pemimpin kita mentoleransi berkembangnya “pasar narkoba” di tanah air, sekaligus seolah melupakan reaksi dan kritikan pedas dari berbagai elemen masyarakat atas pemberian grasi terhadap pengedar Narkoba. Ironis.
Inikah keadilan?
Sanksi hukum yang diberlakukan bagi para pengedar narkoba sungguhlah lunak. Vonis mati yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera justru dibatalkan oleh MA dan grasi presiden. Bandar dan pengedar narkoba mendapat peluang pengurangan masa tahanan. Bahkan lebih parah lagi, mereka tetap dapat mengontrol penyebaran narkoba dari dalam penjara. Tak heran jika kita dapati pula bahwa para aparat penegak hukumnya pun terjerat narkoba.
Dengan dalih kemanusiaan, hakim MA membatalkan vonis mati dua gembong narkoba. Hal ini karena dianggap bertentangan dengan hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28 dan melanggar HAM. Sejumlah LSM yang menolak vonis hukuman mati beralasan bahwa vonis hukuman mati terbukti tidak menyurutkan angka kejahatan narkoba.
Anggapan bahwa vonis mati tidak memberikan efek jera jelas tidak didukung bukti. Fakta yang ada menunjukkan bahwa dari sekian vonis hukuman mati yang sudah dijatuhkan belum ada yang dieksekusi. Saat ini masih ada 50 terpidana mati kasus narkoba yang belum dilaksanakan. Disamping kalaupun dilaksanakan, masyarakat tidak pernah mengetahuinya. Wajar saja efek jeranya belum terasa, sebab memang belum dilaksanakan.

Enyahkan Narkoba dengan Sistem Islam!
            Ketika syariat Islam diterapkan, maka peluang penyalahgunaan hukum akan tertutup. Landasan akidah Islam mewajibkan Negara membina ketakwaan warganya. Ketakwaan yang terwujud akan mencegah seseorang terjerumus dalam kejahatan narkoba. Setiap individu akan menyadari benar bahwa ada hari akhir dimana setiap amal perbuatan dimintai pertanggungjawabkan. Kehidupan bernegara dilandasi dengan suasana keimanan yang kental bukan seperti saat ini.
            Alasan ekonomi yang menjadi salah satu penyebab seseorang terjerat narkoba pun bisa dienyahkan, karena sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam meniscayakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik dia seorang Muslim ataupun non-Muslim. Semua pemenuhan kebutuhan pokok setiap rakyat (papan, pangan, dan sandang) juga kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, layanan kesehatan, dan keamanan) akan dijamin oleh Negara. Hal ini dapat diwujudkan dengan memanfaatkan dan mengelola seluruh sumber daya alam sesuai syariat Islam yakni diwajibkan pengelolaannya oleh Negara dan bukan diserahkan pada pihak swasta asing seperti saat ini.
            Secara hukum, dalam syariah Islam, narkoba adalah haram sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah ra: “Rasulullah saw. melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Sebagai zat haram, siapa saja yang mengkonsumsi, mengedarkan dan memproduksinya berarti telah melakukan jarîmah (tindakan kriminal) yang termasuk sanksi ta’zir. Pelakunya layak dijatuhi sanksi dimana bentuk, jenis dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi, bisa sanksi diekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Terhadap pengguna narkoba yang baru sekali, selain harus diobati/ direhabilitasi oleh Negara secara gratis, cukup dijatuhi sanksi ringan saja. Jika berulang-ulang tertangkap menggunakan narkoba sanksinya bisa lebih berat. Terhadap pengedar tentu tak layak dijatuhi sanksi hukum yang ringan atau bahkan diberi keringanan. Sebab selain melakukan kejahatan narkoba mereka juga membahayakan masyarakat. Gembong narkoba (produsen atau pengedar besar) layak dijatuhi hukuman berat bahkan sampai hukuman mati.
Jika vonis telah dijatuhkan, maka harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dikurangi atau bahkan dibatalkan. Syaikh Abdurrahman al-Maliki di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât (hal. 110, Darul Ummah, cet. li. 1990) “adapun untuk ta’zir dan mukhalafat, vonis Qadhi itu jika telah ditetapkan, maka telah mengikat seluruh kaum Muslim, karena itu tidak boleh dibatalkan, dihapus, dirubah, diringankan atau yang lain, selama vonis itu masih berada dalam koridor syariah. Sebab hukum itu ketika sudah ditetapkan oleh Qadhi, maka tidak bisa dibatalkan sama sekali”.
Pelaksanaan hukuman yang dijatuhkan itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama setelah dijatuhkan vonis. Pelaksanaannya hendaknya diketahui dan disaksikan oleh masyarakat seperti dalam had zina sesuai yang terdapat dalam QS. An-Nur ayat 2. Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejahatan tersebut dan merasa ngeri. Dengan begitu setiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan serupa. Wallâhu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar