Kamis, 16 Desember 2010

Di Balik Penghinaan Nabi Muhammad SAW


  Atas nama kebebasan, Islam dan Rasulullah kembali dihina. Pada tahun 2005 lalu, Koran Jyllands-Posten Denmark menerbitkan kartun-kartun Nabi Muhammad SAW. Dalam kartun itu digambarkan Rasulullah SAW membawa pedang dan menenteng bom. Saat itu pemerintah Denmark merestui penghinaan tsb. Pemerintah Denmark lewat PM Anders Fogh Rasmussen membela koran dengan alasan hak kebebasan berbicara.

    Dan kini, pada tanggal 13 Februari 2008, karikatur yang melecehkan dan menghina Islam tsb kembali dimuat oleh sebelas media masa terkemuka dan televisi nasional di Denmark. Sedikitnya tiga harian di Eropa, yaitu di Swedia, Belanda dan Spanyol, juga mencetak karikatur penghinaan tsb. Lagi-lagi alasan yang sama diucapkan,”Kami tidak meminta maaf bagi kebebasan berbicara,” ujar Soevndal, pemimpin Partai Rakyat Sosialis, seperti dikutip BBC, Minggu (17/2/2008). Para tersangka pembuat karikatur pun masih bebas berkeliaran.

    Kebebasan hanyalah kedok. Intinya adalah kebencian. Tengoklah ucapan Kurt Westergaard –kartunis yang menggambar kartun Nabi Muhammad SAW- kepada Berlingske Tidende, Rabu (13/2/2008),”Dengan kartun ini saya ingin menunjukkan bagaimana fanatiknya Islam fundamental/teroris menggunakan agama sebagai jenis senjata spiritual.”

    Apa benar Islam fundamentalis? Apa benar Islam penuh kekerasan? Apa benar Islam itu teroris? Lalu mengapa seluruh kaum Muslim di dunia dengan serempak dan tanpa kerjasama masih menganut Islam? Benarkah cap negatif terhadap Islam selama ini?

    Kebebasan merupakan fitrah manusia. Namun, kebebasan yang merusak agama, mengolok-olok dan menodai agama atau bahkan meruntuhkan bangunan agama jelas ditentang oleh Islam. Kebebasan ini sangat berbahaya dan mampu menggiring manusia pada pertentangan dan perpecahan masyarakat bahkan berujung pada porak-porandanya tatanan masyarakat dan negara. Contoh kebebasan ini antara lain : Penghinaan terhadap Rasulullah melalui karikatur, penghinaan Al-Quran dengan dimasukkan ke dalam kloset sebagaimana terjadi di Guantanamo, tuduhan Al-Quran sebagai The Satanic Verses (ayat-ayat setan), pengakuan nabi/rasul baru, dll.

    Lalu bagaimana sikap para penguasa Muslim saat ini menghadapi kasus penghinaan tsb? Aneh. Mayoritas penguasa di Dunia Islam saat ini diam. Tindakan paling ringan pun tak dilakukan. Mereka tidak melakukan ketukan, protes atau memanggil duta besar Denmark dan negara lain yang terlibat penghinaan atas Islam. Bandingkan, jika Kepala Negara dihina, segera pelakunya diprotes dan diadili. Padahal lebih mulia mana Nabi Muhammad SAW dibanding mereka? Namun, mengapa ketika Rasulullah SAW dihina mereka diam? Dimana letak penghormatan dan kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW? Bukankah Rasulullah SAW harus lebih dicintai daripada keluarga, harta, diri sendiri, bahkan manusia secara keseluruhan seperti ditegaskan dalam banyak hadist? Pemerintah Indonesia pun tidak menganggap hal ini sebagai perkara penting, sangat kontras sekali padahal Indonesia adalah Negara Muslim terbesar. Jangankan kasus ini, korban bencana alam ataupun penggusuran saja masih luntang-lantung.

    Wahai umat Nabi Muhammad SAW!!! Penghinaan terhadap Islam dan Rasulullah terus berulang. Hal serupa akan terus berulang selama kaum Muslim tidak memiliki benteng. Mereka tahu, penguasa saat ini bukanlah benteng bagi umat. Benteng itu adalah Khalifah. Khalifah adalah seorang pemimpin yang akan memimpin seluruh kaum Muslim di dunia, seperti yang pernah dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin ataupun para Khalifah setelahnya. Tanpa Khilafah (negara dengan sistem pemerintahan Islam) kita akan terus diinjak-injak. Padahal kita adalah umat terbaik. Lupakah kita akan firman Allah SWT :

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi munkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali-Imran [3] : 110)


By: Anita Komala Dewi (26 Februari 2008) 
Pelajar di SMA Pasundan 7 Bandung

Negarawan Sejati, Adakah?

    Dari hari ke hari, umat Islam Indonesia kian kecewa. Hal-hal yang terkait dengan Islam dan keimanan umat kian tak tejaga. Beberapa kasus membuktikan. Pertama : Pada tanggal 21 Mei 2006 umat Islam beserta beberapa pimpinan organisasi dan komponen umat sebanyak 1,2 juta orang memenuhi jalan-jalan utama Jakarta dan kota-kota besar ataupun daerah lainnya untuk menuntut pengesahan RUU Antupornografi dan Pornoaksi. Ini merupakan aspirasi umat. Namun, apa yang terjadi? Hingga kini RUU tsb tak menemukan titik terang. Pemerintah dan DPR seolah menganggap tuntutan 1,2 juta umat tsb bagaikan angin lalu.

    Kedua : Pada tanggal 5 April 2007 digelar sidang terhadap Pimpinan Redaksi Majalah Playboy Indonesia, Edwin Armada, di Pengadilan Jakarta Selatan. Banyak ulama datang untuk membacakan somasi. Namun apa yang terjadi? Edwin Armada dinyatakan tidak bersalah dan kini Majalah Playboy tetap menghiasi ruas-ruas jalanan Ibukota.

    Ketiga : Fatwa MUI tahun 1980 yang ditegaskan kembali pada tahun 2005 menyatakan Ahmadiyah sesat karena selain mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW, penganutnya juga meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi/rasul walaupun tidak membawa syariat baru. Fatwa MUI ini masih berlaku hingga kini. Namun apa yang terjadi? Lagi-lagi umat Islam harus merasa kecewa karena atas arahan dari Litbang Departemen Agama, Badan Koordinasi Pengkaji Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), Ahmadiyah dinyatakan tidak terlarang. Bagaimana mungkin dialog yang hanya 7 putaran, dalam waktu cepat, dan tanpa menyoal buku-buku mereka dapat meniadakan keputusan ulama dunia? Pemerintah Saudi saja akan menyeleksi jamaah haji dari Indonesia karena dikhawatirkan adanya orang Ahmadiyah –yang telah difatwakan kafir dan haram masuk Tanah Haram oleh ulama di sana- turut naik haji. Bukankah sikap Bakor Pakem ini merupakan pelecehan terhadap Islam dan ulamanya?

    Berbeda halnya dengan sikap dan tindakan para pemimpin Islam (Khalifah) terdahulu. Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq mampu bertindak tegas dan memerangi Musailamah –yang mengklaim dirinya sebagai nabi- dan para pengikutnya.

    Bukan hanya mengabaikan penjagaan akidah umat, pemerintah saat ini nampak tak peduli dengan penderitaan rakyat. Banyak politisi dan pejabat sekarang justru meminta kenaikan gaji, tunjangan, dan fasilitas tambahan disaat rakyat tengah menderita kemiskinan dan kelaparan. Bertolak belakang dengan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Ketika paceklik datang melanda Madinah, beliau tidak mau mengecap makanan enak dan hanya makan roti murah yang diolesi minyak. Beliau berprinsip jika rakyat bisa makan enak, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang dapat makan enak. Sebaliknya, jika rakyat kelaparan, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang terbebas dari kelaparan.

    Pendidikan sebagai kebutuhan dasar rakyat juga hanya sebuah ilusi. Para politisi lebih senang mematuhi nasihat pihak asing dengan memprivatisasi pendidikan yang berakibat mahalnya biaya pendidikan hingga tak terjangkau oleh rakyat kecil. Fakta diatas jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para khalifah dalam sistem Khilafah dulu yang mampu memberikan pendidikan berkualitas dan bebas biaya untuk rakyat. Khalifah Harun ar-Rasyid justru memberikan hadiah hingga 100 dinar (setara 425 gr emas) untuk para penuntut ilmu. Begitu pun Sultan Nuruddin M.Zanki yang membangun madrasah an-Nuriah. Semuanya disertai sarana yang lengkap dan bebas biaya.

    Di tengah ideologi dan sistem politik seperti saat ini (Kapitalisme-Sekularisme), sangat mustahil mengharapkan munculnya negarawan sejati –yang tidak berasaskan manfaat dan kepentingan pribadi- seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Harun ar-Rasyid, Abdul Hamid II dsb. Negarawan seperti mereka hanya dapat terbentuk dalam sistem yang berideologikan Islam. Pemimpin dalam Islam adalah orang yang senantiasa sadar bahwa kekuasaan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Di telinga mereka akan senantiasa terngiang sabda Rasulullah SAW berikut :

“Seorang pemimpin (penguasa) adalah pengurus rakyat, dia bertanggungjawab atas rakyat yang diurusnya.” [HR. Bukhari]

“Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah memelihara dan mengurus (kepentingan) rakyat lalu meninggal, sementara ia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan atasnya Syurga.” [HR. Muslim, Ahmad, dan ad-Darimi]
   
    Kini telah saatnya rakyat Indonesia menerapkan syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah yang mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya. Dimana bukan hanya darah, kehormatan, dan harta kaum Muslim saja yang terjaga tetapi darah, harta, dan kehormatan kaum non-Muslim pun akan dijaga. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

“Siapa saja yang membunuh seorang mu’ahad (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Daulah Islam) tanpa alas an yang benar, dia tidak akan pernah mencium bau surga, padahal sesungguhnya harumnya surga itu sudah tercium dari jarak 500 tahun.“ [HR. Ahmad]


By: Anita Komala Dewi (5 Februari 2008)
Pelajar di SMA Pasundan 7 Bandung

Rabu, 15 Desember 2010

Peran Muslimah dalam Kebangkitan Umat

`    Rabu, 21 April 2010 lalu telah sukses diselenggarakan acara Muktamar Mubalighah Indonesia (MMI) yang digelar di Istora Senayan Jakarta dan dihadiri oleh sekitar 6000 mubalighah dari seluruh penjuru Indonesia. Acara yang digagas oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) ini bertujuan untuk menyatukan langkah sekaligus mengokohkan peran muslimah, khususnya para mubalighah dalam mendukung perjuangan umat Islam demi tegaknya syariah dan Khilafah.

Dalam hidupnya, wanita juga wajib berda’wah dan menyerukan Islam pada komunitas dimana ia berada, da’wah dalam artian ini ialah mengajak orang agar cenderung kepada Islam. Seorang wanita harus menjalankan peran pengemban da’wahnya lebih kepada masalah-masalah yang disitu melibatkan kaumnya. Ia mestilah lebih faham dalam hal-hal kewanitaan, walaupun tidak mengabaikan hal-hal yang lain. Selain itu seorang wanita mestilah menjadi contoh di lingkungan tempat ia berada, tidak eksklusif, berusaha memahami masyarakat tempat ia tinggal, berbaur dan melebur dengannya, tanpa mengorbankan hal prinsipal yang ia anut.

Sistem Kapitalisme sejatinya telah menghancurkan kehidupan manusia, termasuk kaum perempuan. Dalam kungkungan sistem Kapitalisme saat ini kaum perempuan dalam posisi serba salah. Di satu sisi mereka memikul amanah mulia menjadi benteng keluarga; menjaga anak-anak dari lingkungan yang merusak sekaligus mengurus rumah-tangga. Di sisi lain mereka pun harus ikut bertanggung jawab menyelamatkan kondisi ekonomi keluarga dengan cara ikut bekerja mencari nafkah tambahan, atau bahkan harus menggantikan posisi sang suami sebagai pencari nafkah.

Perjuangan mengembalikan tegaknya sistem Khilafah meniscayakan perjuangan politik, yakni memperhatikan urusan-urusan umat agar diatur sesuai syariah Islam. Karena itu, kiprah seluruh komponen umat Islam, termasuk para mubalighah, dalam penegakan Khilafah juga harus diwujudkan dengan aktivitas politik, sebagai berikut:
•    Membina umat dan menjaga kejernihan pemikirannya.
•    Membangun kesadaran politik umat, yaitu kesadaran tentang bagaimana mereka memelihara urusannya dengan syariah Islam.
•    Memberikan solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan dengan solusi Islam.
•    Melakukan kontrol dan koreksi terhadap penguasa. Ini bukan semata-mata tugas kaum pria. Sebab, perintah amar makruf nahi mungkar juga ditujukan kepada kaum perempuan
•    Mengembangkan jaringan untuk memperkuat dakwah syariah dan Khilafah.
•    Membela, menjaga dan mendukung upaya penegakan syariah dan Khilafah serta para pejuangnya.
•    Menjadikan diri dan keluarganya sebagai teladan dalam pelaksanaan akidah, ibadah, muamalah dan perjuangan Islam.

Siapakah di antara wanita yang lebih baik ucapannya dibandingkan dengan seorang mubalighah yang menyerukan aktivitas agung, yakni menyeru manusia untuk menegakkan syariah-Nya? Allah Swt berfriman :
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (QS Fushilat [41] : 33).

Di Balik Gerakan Separatisme Papua

    Ribuan warga Papua memberontak dan mengadakan aksi pada tanggal 8 Juli lalu. Mereka mendesak agar DPR Papua segera melaksanakan sidang paripurna guna menindaklanjuti aksi demo tanggal 18 Juni 2010 dalam rangka menyerahkan hasil musyawarah masyarakat Papua. Tuntutannya adalah mengembalikan Otsus (Otonomi Khusus) sekaligus menuntut referendum. Tentu ini merupakan tantangan besar bagi Pemerintah Indonesia. Pasalnya, jika Pemerintah tak cermat, Papua akan mengalami kontraksi politik yang berujung pada disintegrasi (pemisahan diri) sebagaimana halnya Timor-timur yang telah lepas dari pangkuan negeri ini.

    Papua merupakan wilayah yang subur dengan kandungan mineral dan potensi SDA yang melimpah, dari mulai hutan, tambang emas, tembaga hingga uranium. Namun, sangat disayangkan, Indek Pembangunan Manusia (IPM) Papua termasuk yang paling rendah dibandingkan dengan seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Tingkat kemiskinan masyarakatnya pun sangat merisaukan. Padahal Papua telah terbukti memberikan banyak keuntungan dengan kandungan kekayaan alamnya yang melimpah kepada perusahaan lokal, nasional maupun multinasional (asing). Namun, Papua seolah hanya menjadi pundi-pundi kekayaan dan sapi perah kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut dan pihak asing termasuk para elit penguasanya.

    Kondisi inilah yang mendorong sebagian masyarakat Papua (lebih tepatnya, elit politiknya) menyuarakan tuntutan referendum (yang arahnya adalah merdeka atau minimal berformat federalisme). Referendum dianggap sebagai pilihan akhir untuk mengubah keadaan itu semua. Bila kita analisis tentu ada penyebab-penyebab yang menyebabkan mencuatnya wacana referendum tersebut, diantaranya: karena Undang-undang No.21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua tidak dilaksanakan secara konsisten dan serius oleh pemerintah pusat dan daerah, Undang-undang Otsus Papua mengandung blunder politik terkait dengan peran lembaga-lembaga adat dalam melahirkan kebijakan-kebijakan politik di Papua, Pemerintah dianggap tidak serius dalam mewujudkan Pasal 34 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua dan Pelanggaran HAM yang dilakukan sejak 1963 hingga kini belum ditangani.

    Untuk menghilangkan tuntutan referendum dari tanah Papua, faktor pemicu tuntutan ini perlu dipecahkan. Mengingat Papua memiliki potensi SDA yang cukup besar. Apalagi Papua adalah ladang subur tempat melampiaskan ketamakan para kapitalis asing melalui instrument negaranya untuk melakukan penjajahan sekaligus mengeruk habis kekayaan Papua.

    Indonesia harus mencermati ‘dalang’ dibalik tuntutan referendum ini. Sebab, masyarakat kecil kebanyakan sebetulnya tidak begitu paham dengan referendum tersebut. Sekelompok elit politiklah yang sebenarnya bermain dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring internasional. Namun, sesungguhnya mereka hanyalah ‘alat’. Kepentingan Negara-negara besarlah khususnya Amerika dan Australia yang memainkan peran penting di Papua. Sesungguhnya Negara-negara penjajah inilah yang memiliki kepentingan dan akan meraup keuntungan jika Papua merdeka atau memisahkan diri.

Indonesia adalah negeri Islam. Papua adalah bagian dari negeri Islam ini. Karena itu, wajib bagi kaum Muslim untuk mencegah para penguasa negeri ini melepaskan Papua, sebagaimana mereka dulu ‘melepaskan’ begitu saja Timor-timur. Dalam Islam tidak diziinkan untuk memberikan otonomi untuk setiap provinsi yang bisa memicu gerakan separatis. Ini dilarang (haram) dan merupakan kejahatan berat dalam Islam. Karena itu, salah besar memberikan otonomi kepada Papua. Otonomi wajib dibatalkan dan Papua harus dibawa kembali dibawah pemerintahan pusat. Kaum Muslim pun wajib mengerahkan  tekanan dan bekerja untuk mengubah sistem sekuler yang ada karena sistem inilah yang memungkinkan terjadinya pemecahbelahan negeri Muslim terbesar ini. Umat selanjutnya harus berupaya menegakkan kembali kekhilafahan Islam yang pasti akan mampu mencegah aksi separatis dan menanganinya secara adil di antara masyarakat.

Solusi Ekonomi Bagi Indonesia

Jakarta - Menjelang pemilihan presiden 8 Juli 2009 lalu para capres dan cawapres mengusung isu ekonomi dalam visi misinya. Hal ini terlihat jelas dengan adanya pemberian porsi khusus dalam masalah ekonomi.

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Boediono mengatakan tidak akan menyerahkan perekonomian kepada pasar bebas. Akan ada campur tangan negara. Meski tidak boleh terlalu jauh karena hal itu akan mematikan sektor swasta.

Namun, masih hangat dalam ingatan kita. Pada tahun 1996-1998, ketika Boediono menjabat sebagai Direktur I BI urusan analisa kredit terkucurlah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 400 triliun. Belum lagi ketika Boediono menjadi Kepala Bappenas. Terkucurlah dana rekap perbankan Rp 600 triliun.

Ironisnya para obligator BLBI justru diberikan Release and Discharge alias dibebaskan dari masalah hukum. Akhirnya, rakyatlah yang harus membayar hingga tahun 2032.

Pasangan Jusuf Kalla (JK) - Wiranto berkomitmen membangun ekonomi kerakyatan. JK berjanji akan mewujudkan ekonomi mandiri yang terlepas dari ketergantungan asing. Namun, kita pun tahu. Selama pemerintahan SBY - JK, JK dianggap berperan banyak dalam mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang juga tak kalah liberal. Seperti menaikkan harga BBM di atas 100% yang jelas-jelas membebani rakyat.

Adapun pasangan Megawati - Prabowo sepakat untuk membangun ekonomi kerakyatan. Bahkan, pasangan ini sudah berbagi tugas. Prabowo ditugaskan menangani masalah perekonomian untuk fokus membangun ekonomi kerakyatan dan kebangkitan ekonomi rakyat. Namun, kita pun tidak mungkin lupa pada masa kepemimpinan Megawati pula aset-aset negara banyak dijual atas nama privatisasi.

Apa yang para capres dan cawapres tersebut ucapkan hanyalah sebatas wacana tanpa solusi nyata untuk mengatasi masalah ekonomi bangsa ini. Untuk mewujudkan perekonomian yang mandiri dibutuhkan ketegasan dalam menghentikan campur tangan asing. Salah satunya dengan menutup pintu masuk campur tangan asing itu, yaitu utang luar negeri.

Jika campur tangan asing sudah terlanjur masuk maka harus segera dibereskan dan dibersihkan. Jika langkah ini tak pernah ditempuh, jangan pernah berharap akan terwujudnya ekonomi Indonesia yang mandiri. Selama sistem Kapitalisme bercokol di negeri ini maka kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan hanyalah mimpi.

Ekonomi yang mandiri dan pro-rakyat hanya bisa diwujudkan ketika negeri ini mau menerapkan sistem peraturan Islam. Caranya adalah dengan penerapan sistem perekonomian Islam yang dijalankan dalam bangunan hukum dan sistem politik Islam secara konsisten.

Lebih dari itu menerapkan sistem Islam dalam segala aspek kehidupan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Allah SWT berfirman:

"Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al Araf [7]: 96).

Oleh karena itu saatnya Indonesia keluar dari cengkraman ekonomi yang dinaungi Kapitalisme. Karena jelas-jelas perekonomian yang dibangun hanya berasakan kepentingan belaka. Saatnya Indonesia bangkit dengan kembali pada sebuah aturan mulia yaitu Islam dalam seluruh bidang kehidupan. Wallahualambishawwab.


By: Anita Qurrota a’yun al-Anbiyaa
Dimuat @ http://news.detik.com/read/2009/07/14/183408/1165006/471/solusi-ekonomi-bagi-indonesia (Selasa, 14/07/2009)

Meraih Kemenangan Hakiki

Belum genap sepuluh hari umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan penuh kebahagiaan. Dikatakan pula bahwa hari tersebut adalah hari kemenangan. Namun sungguhkah kita telah menjadi orang-orang yang menang?

Di tengah gegap gempitanya perayaan ini dengan sorak-sorai gema takbir, suka cita setelah berpuasa, dan letupan-letupan suara petasan ternyata justru saudara-saudara kita di Palestina tengah dibantai oleh kaum kafir Yahudi. Kita juga mungkin lupa dengan saudara-saudara kita di Irak dan Afganistan yang terus mengalami penjajahan.

Saudara-saudara kita di China, khususnya umat Islam dari suku Uighur di Xinjiang-yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Turkistan Timur-juga menjadi korban kebrutalan suku Han yang didukung penuh oleh rezim Komunis China. Turki, disana ratusan aktivis Islam ditangkapi dan di penjara tanpa alasan bahkan beberapa orang diantaranya telah syahid. Belum lagi saudara-saudara kita di Pattani Thailand, Moro Philipina Selatan, Khasmir, Rohingya di Myanmar, Pakistan, dan Bangladesh.

Lupakah kita dengan mereka, di hari ketika kita bersuka cita, mereka saudara-saudara kita justru mengalami penderitaan akibat kekejaman para penguasa yang sekuler. Padahal kita dan mereka diibaratkan bagaikan satu tubuh, ketika satu bagian sakit maka seharusnya bagian tubuh yang lainnya pun akan merasakan sakit.

Penjajahan semu pun terus berlangsung di negeri kita, Indonesia. Ada pihak-pihak yang mencoba ‘mengail di air keruh’. Dimana mereka terus menggulirkan isu terorisme dan mencoba mengaitkannya dengan aktivitas dakwah juga aktivitas perjuangan untuk menerapkan kembali syariah Islam. Mereka ingin membungkam dakwah dengan terus memprovokasi penguasa agar menerapkan kembali undang-undang represif seperti pada rezim otoriter sebelumnya. Maka wajar jika dikatakan kita merayakan hari kemenangan dalam kekalahan.

Mengapa ini semua dapat terjadi? Ini adalah akibat tidak diterapkannya syariah Islam secara kaffah juga tidak adanya institusi Negara yang melindungi seluruh kaum Muslim di dunia, yaitu Khilafah. Sepanjang Khilafah berdiri kokoh tak ada satupun penjajah yang berani mengusik tanah Palestina. Pada masa Khalifah al-Mu’tashim Billah, ketika seorang Muslimah jilbabnya ditarik oleh salah seorang Romawi, ia segera meminta pertolongan kepada Khalifah. Khalifah serta merta bangkit dan memimpin sendiri pasukannya untuk merespon pelecehan tersebut. Itulah fakta sejarah kegemilangan Khilafah menjaga stabilitas dan keamanan seluruh warganya yang berada dalam naungannya. Sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Tidakkah kita rindu akan tegaknya kemuliaan Islam dan kaum Muslimin? Jadi, mari kita wujudkan kemenangan hakiki dengan berjuang menerapkan syariah dalam naungan Khilafah.

Dimuat @  http://www.sabili.co.id/aspirasi-anda/meraih-kemenangan-hakiki

walau Idul Fitrinya sudah lewat, semoga tetap bermanfaat ^_^

Menuju Indonesia yang Lebih Baik

Jakarta - Menarik kritis Amien Rais dalam Cakrawala Islam (1999) tentang Kapitalisme. Menurutnya, secara teoritis Kapitalisme memberikan kesempatan yang sama kepada setiap anggota masyarakat. Namun, dalam kenyataannya, ia bersifat diskriminatif bahkan rasis.

Wajar saja diskriminasi ini terjadi karena ideologi ini menjadikan kepemilikan modal sebagai panglima dalam kehidupan. Asal punya uang anda bisa membeli apa pun.

Diskriminasi juga terjadi dalam pelayanan publik. Kualitas pelayanan publik pun ternyata ditentukan oleh kekuatan modal. Misalnya saja ketika kita menaiki bus atau kereta. Siapa yang memiliki uang akan mendapatkan pelayanan transportasi yang baik, ber-AC, tepat waktu, dan dilayani full senyum. Dapat kita lihat. Bagi orang yang memiliki ongkos seadanya dia harus rela berdesak-desakkan. Bahkan, untuk berdiri pun sulit dan jangan harap dilayani dengan senyum.

Ironi yang sama terjadi dalam dunia pendidikan. Kualitas pendidikan rakyat ditentukan oleh besar kecil modal yang kita punya. Bagi anda yang memiliki "kelebihan" uang maka anda akan memperoleh kesempatan masuk sekolah unggulan dengan kualitas pendidikan optimal dan fasilitas yang lengkap. Mulai dari komputer dengan fasilitas internet, perpustakaan, labolatorium, hingga gedung full AC.

Berbeda dengan keadaan anak yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah. Walaupun memiliki kemauan tinggi untuk bersekolah dan memiliki kecerdasan dia harus siap dengan mutu pendidikan yang serba kurang atau bahkan tidak layak.

Semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan. Padahal, bagi rakyat miskin, jangankan untuk biaya pendidikan. Untuk makan pun sulit.

Dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen maupun infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan sepenuhnya menjadi kewajiban negara.

Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara. Namun, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab Negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan.

Melalui wakaf yang disyariatkan sejarah mencatat banyak orang yang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang bersal dari wakaf.

Kini, bagaimana cara yang dapat ditempuh untuk mewujudkan pendidikan gratis di setiap jenjang pendidikan di tengah krisis ekonomi seperti sekarang ini? Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8% dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.

Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan. Misalkan kita ambil angka Rp 90,10 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi, dengan melihat potensi kepemilikan umum (SDA) yang ada di Indonesa, dana sebesar Rp 90,10 triliun akan dapat dipenuhi. Asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neo-liberalisme.

Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber. Potensi hasil hutan berupa kayu (data tahun 2007) sebesar US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 25 triliun. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar (data tahun 1999) sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 15 triliun. Potensi pendapatan emas di Papua yaitu PT Freeport (data tahun 2005) sebesar US$ 4,2 miliar atau sekitar 40 triliun. Potensi pendapatan migas Blok Cepu pertahun US$ 700 juta-US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 10 triliun.

Dari empat potensi di atas saja setidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang jalankan penegakkan hukum dengan tegas. Insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun.

Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.

Mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah mungkin. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan melainkan gagalnya sistem pemerintahan yang dijalankan. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan. Melainkan kesalahan Pemerintahan yang bobrok dan korup.

Oleh karena itu sudah saatnya kini kita menerapkan aturan Islam baik dalam pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan sektor lainnya. Allah-lah yang menciptakan manusia dan Allah Maha Mengetahui aturan terbaik bagi manusia. Semoga Indonesia menuju yang lebih baik.


By: Anita Komala Dewi - Mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab UPI
Dimuat @ http://news.detik.com/read/2009/10/23/095921/1226978/471/menuju-indonesia-yang-lebih-baik (Jumat, 23/10/2009)

Dua Peristiwa penting di Bulan Rajab

Beberapa hari lalu kaum Muslim telah memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Rajab di tahun 1431 Hijriyah ini. Peristiwa ini merupakan peristiwa besar yang telah dilalui oleh Rasulullah Muhammad saw. Isra’ dan Mi’raj, keduanya merupakan mukjizat. Setelah menghadapi penyiksaan fisik sejak paman Rasulullah saw., Abu Tholib meninggal yaitu paman yang telah banyak membelanya dari penganiayaan dengan memanfaatkan kedudukannya yang tinggi di Mekkah; setelah menderita tekanan mental sejak meninggalnya istri tercinta Khadijah, istri yang sangat setia yang berfungsi sebagai penawar guna mengobati luka-luka Rasulullah saw. akibat perbuatan kaum musyrikin; dan setelah menelan pahitnya kegagalan cita-cita ketika beliau pergi ke Thaif, maka Allah hendak menghormatinya dengan perjalanan penuh berkah ini, seolah-olah Allah Swt. berfirman kepadanya: “Wahai Muhammad, jika bumi terasa sempit olehmu, maka langit itu sangat luas bagimu. Jika penduduk bumi memusuhimu, maka penduduk langit menyambut dengan baik kedatanganmu. Dan jika penduduk bumi menghinakanmu, maka kedudukanmu di sisi Allah sangatlah mulia.”
Berbeda dengan Isra’ Mi’raj, ada sebuah peristiwa penting lainnya di bulan Rajab lalu yang mungkin banyak dilupakan atau tidak diketahui oleh sebagian besar kaum Muslim yakni peristiwa Keruntuhan Khilafah yang terjadi pada tanggal 28 Rajab 1342 H, tepatnya 89 tahun yang lalu. Keruntuhan Khilafah adalah peristiwa yang dianggap "tidak begitu penting" oleh kaum Muslim. Padahal peristiwa tersebut berkaitan erat dengan salah satu warisan yang ditinggalkan Baginda Rasulullah saw. Khilafah, sebuah sistem pemerintahan Islam yang pondasi dan pilar-pilarnya dibangun dan dipraktikkan Rasulullh saw. saat beliau memimpin Daulah Islam (Negara Islam) di Madinah.

Tidak lama setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, Nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim hijrah ke Madinah. Peristiwa ini tentu penting, mengingat disanalah tonggak pertama tegaknya Daulah Islam yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad saw. sebagai kepala negaranya. Sejak Nabi memproklamirkan berdirinya Daulah Islam di Madinah, kaum Muslim pun memiliki institusi Negara yang menjadi pelayan, penganyom dan pelindung mereka. Melalui Daulah Islam ini pula hukum-hukum Islam dapat diterapkan secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan dan Islam disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Setelah Rasulullah saw. wafat kepemimpinan beralih kepada para Khulafaur Rasyidin. Era Khulafaur Rasyidin kemudian berakhir, lalu digantikan oleh era Khilafah Umayyah. Era Khilafah Umayyah kemudian diganti dengan era Khilafah Abbasiyyah. Selanjutnya, era Khilafah Abbasiyah diganti oleh era Khilafah Utsmaniyyah. Sayang, Khilafah Utsmaniyyah ini berakhir tragis karena diruntuhkan oleh tangan-tangan penjajah Barat, yakni Mustafa Kemal Attarturk. Inilah peristiwa penting kedua di bulan Rajab yang banyak dilupakan oleh kaum Muslim.

Lantas apa yang terjadi saat ini ketika kaum Muslim tak lagi berada dalam naungan Kekhilafahan Islam? Problematika umat kian meningkat, mulai dari perzinaan yang semakin marak di bidang sosial; anak-anak yang terpaksa putus sekolah dan semakin tingginya biaya yang dikeluarkan akibat komersialisasi di bidang pendidikan; angka kemiskinan dan pengangguran kian tahun kian melambung hingga rakyat pun tak pernah lagi merasakan kesejahteraan dan keadilan. Hal ini dapat kita lihat dengan mata telanjang sekalipun, betapa kesenjangan sosial di masyarakat semakin tinggi. Inilah bukti kehancuran di bidang ekonomi; Musuh-musuh kaum Muslim yang dulu begitu gentar, gemetar ketakutan hanya karena berpikir akan menghadapi kaum Muslim yang dipimpin oleh seorang Khalifah (pemimpin kaum Muslim) yang gagah berani, sekarang justru berani dan lancang menodai tempat-tempat suci kaum Muslim dan menghina Rasulullah saw. Semua itu didengar dan disaksikan langsung oleh para penguasa kaum Muslim saat ini, namun mereka tetap diam bak patung meski mereka memegang kekuasaan atas umat yang paling besar di dunia, memiliki militer paling banyak dan kekayaan alam yang melimpah ruah di bandingkan umat-umat lainnya.