Kamis, 16 Desember 2010

Negarawan Sejati, Adakah?

    Dari hari ke hari, umat Islam Indonesia kian kecewa. Hal-hal yang terkait dengan Islam dan keimanan umat kian tak tejaga. Beberapa kasus membuktikan. Pertama : Pada tanggal 21 Mei 2006 umat Islam beserta beberapa pimpinan organisasi dan komponen umat sebanyak 1,2 juta orang memenuhi jalan-jalan utama Jakarta dan kota-kota besar ataupun daerah lainnya untuk menuntut pengesahan RUU Antupornografi dan Pornoaksi. Ini merupakan aspirasi umat. Namun, apa yang terjadi? Hingga kini RUU tsb tak menemukan titik terang. Pemerintah dan DPR seolah menganggap tuntutan 1,2 juta umat tsb bagaikan angin lalu.

    Kedua : Pada tanggal 5 April 2007 digelar sidang terhadap Pimpinan Redaksi Majalah Playboy Indonesia, Edwin Armada, di Pengadilan Jakarta Selatan. Banyak ulama datang untuk membacakan somasi. Namun apa yang terjadi? Edwin Armada dinyatakan tidak bersalah dan kini Majalah Playboy tetap menghiasi ruas-ruas jalanan Ibukota.

    Ketiga : Fatwa MUI tahun 1980 yang ditegaskan kembali pada tahun 2005 menyatakan Ahmadiyah sesat karena selain mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW, penganutnya juga meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi/rasul walaupun tidak membawa syariat baru. Fatwa MUI ini masih berlaku hingga kini. Namun apa yang terjadi? Lagi-lagi umat Islam harus merasa kecewa karena atas arahan dari Litbang Departemen Agama, Badan Koordinasi Pengkaji Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem), Ahmadiyah dinyatakan tidak terlarang. Bagaimana mungkin dialog yang hanya 7 putaran, dalam waktu cepat, dan tanpa menyoal buku-buku mereka dapat meniadakan keputusan ulama dunia? Pemerintah Saudi saja akan menyeleksi jamaah haji dari Indonesia karena dikhawatirkan adanya orang Ahmadiyah –yang telah difatwakan kafir dan haram masuk Tanah Haram oleh ulama di sana- turut naik haji. Bukankah sikap Bakor Pakem ini merupakan pelecehan terhadap Islam dan ulamanya?

    Berbeda halnya dengan sikap dan tindakan para pemimpin Islam (Khalifah) terdahulu. Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq mampu bertindak tegas dan memerangi Musailamah –yang mengklaim dirinya sebagai nabi- dan para pengikutnya.

    Bukan hanya mengabaikan penjagaan akidah umat, pemerintah saat ini nampak tak peduli dengan penderitaan rakyat. Banyak politisi dan pejabat sekarang justru meminta kenaikan gaji, tunjangan, dan fasilitas tambahan disaat rakyat tengah menderita kemiskinan dan kelaparan. Bertolak belakang dengan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Ketika paceklik datang melanda Madinah, beliau tidak mau mengecap makanan enak dan hanya makan roti murah yang diolesi minyak. Beliau berprinsip jika rakyat bisa makan enak, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang dapat makan enak. Sebaliknya, jika rakyat kelaparan, biarlah dirinya menjadi orang terakhir yang terbebas dari kelaparan.

    Pendidikan sebagai kebutuhan dasar rakyat juga hanya sebuah ilusi. Para politisi lebih senang mematuhi nasihat pihak asing dengan memprivatisasi pendidikan yang berakibat mahalnya biaya pendidikan hingga tak terjangkau oleh rakyat kecil. Fakta diatas jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para khalifah dalam sistem Khilafah dulu yang mampu memberikan pendidikan berkualitas dan bebas biaya untuk rakyat. Khalifah Harun ar-Rasyid justru memberikan hadiah hingga 100 dinar (setara 425 gr emas) untuk para penuntut ilmu. Begitu pun Sultan Nuruddin M.Zanki yang membangun madrasah an-Nuriah. Semuanya disertai sarana yang lengkap dan bebas biaya.

    Di tengah ideologi dan sistem politik seperti saat ini (Kapitalisme-Sekularisme), sangat mustahil mengharapkan munculnya negarawan sejati –yang tidak berasaskan manfaat dan kepentingan pribadi- seperti Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, Harun ar-Rasyid, Abdul Hamid II dsb. Negarawan seperti mereka hanya dapat terbentuk dalam sistem yang berideologikan Islam. Pemimpin dalam Islam adalah orang yang senantiasa sadar bahwa kekuasaan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Di telinga mereka akan senantiasa terngiang sabda Rasulullah SAW berikut :

“Seorang pemimpin (penguasa) adalah pengurus rakyat, dia bertanggungjawab atas rakyat yang diurusnya.” [HR. Bukhari]

“Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah memelihara dan mengurus (kepentingan) rakyat lalu meninggal, sementara ia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan atasnya Syurga.” [HR. Muslim, Ahmad, dan ad-Darimi]
   
    Kini telah saatnya rakyat Indonesia menerapkan syariat Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah yang mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya. Dimana bukan hanya darah, kehormatan, dan harta kaum Muslim saja yang terjaga tetapi darah, harta, dan kehormatan kaum non-Muslim pun akan dijaga. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

“Siapa saja yang membunuh seorang mu’ahad (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Daulah Islam) tanpa alas an yang benar, dia tidak akan pernah mencium bau surga, padahal sesungguhnya harumnya surga itu sudah tercium dari jarak 500 tahun.“ [HR. Ahmad]


By: Anita Komala Dewi (5 Februari 2008)
Pelajar di SMA Pasundan 7 Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar