Mengangkat seorang
Khalifah (Imam) adalah wajib atas semua kaum Muslim di seluruh penjuru
dunia. Melaksanakan pengangkatan Khalifah adalah suatu keharusan yang
tidak ada pilihan lain dan tidak ada tawar menawar di dalamnya.
Kelalaian dalam melaksanakan hal ini termasuk sebesar-besar maksiat,
dimana Allah akan mengazab dengan azab yang sangat pedih. Dalil wajibnya
mengangkat Khalifah atas semua kaum Muslim adalah Al-Qur’an, Sunnah dan
Ijma’ Sahabat.
1. Dalil Al-Qur’an
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (TQS. Al-Mâ’idah [5]: 48)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”.(TQS. Al-Mâ’idah [5]: 49)
Allah SWT. telah memerintahkan Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara diantara kaum Muslim dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. dengan perintah yang tegas. Khithâb (seruan) kepada Rasul adalah khithâb (seruan) kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan bagi beliau saw. Khithâb ini adalah khithâb kepada kaum Muslim untuk menegakkan hukum-hukum Allah dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) sebab dengan pemerintahan Islam itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Maka mengangkat seorang khalifah (Imam) termasuk dalam bagian menegakkan hukum-hukum Allah tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kalian”. (TQS.An-Nisa’ [4]: 59)
Allah tidak akan menyuruh untuk menaati seseorang yang tidak ada. Sehingga dalil ini menunjukkan harusnya mewujudkan ulil amri. Arti “mewujudkan” disini hukumnya bukan sunnah atau mubah, melainkan wajib karena berhukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah wajib. Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulil amri" pada QS. An-Nisa: 59. Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid. Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)
Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah ulama menurut zhahirnya. Sedangkan, secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama. (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518)
Kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri. Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata "taat" sebagaimana kata "taat" yang digandengkan dengan Allah dan Rasul. Quraish Shihab, memberi ulasan yang menarik: "Tidak disebutkannya kata "taat" pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu: "La thoat li makhluqin fi ma'shiyat al-Khaliq", Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah)”.
2. Dalil As-Sunnah
Imam Muslim telah meriwayatkan melalui Nafi’, dia berkata, Ibnu Umar berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
“Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan, maka dia akan menemui Allah pada hari kiamat sedang dia tidak memiliki hujjah. Dan barangsiapa mati, sedang di lehernya tidak terdapat sebuah bai’at, maka dia mati seperti kematian jahiliyah”.
Imam Muslim meriwayatkan dari A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi SAW., beliau bersabda:
“Sesungguhnya imam adalah perisai untuk berperang di belakangnya dan melindungi diri dengannya”.
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hazim, dia berkata, aku menyertai Abu Hurairah selama 5 tahun dan aku mendengarnya menceritakan hadits dari Nabi SAW., beliau bersabda:
“Bani Israil dulu dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi wafat digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Akan ada para khalifah dan jumlah mereka banyak”. Para sahabat berkata: ”Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Tepatilah baiat yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang apa yang Dia kuasakan kepada mereka”.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW., beliau bersabda:
“Barangsiapa membenci sesuatu dari amir (pemimpin) nya, maka hendaklah dia bersabar atas itu. Karena, tidak seorang manusia pun yang keluar dari kekuasaan meski hanya sejengkal, lalu dia mati kecuali dia mati seperti kematian jahiliyah”. (HR. Muslim)
Di dalam hadits-hadits diatas terdapat pemberitahuan dari Rasul saw. bahwa kaum Muslim akan dipimpin oleh para wali (penguasa). Di dalamnya juga terdapat penjelasan tentang sifat seorang imam bahwa dia adalah perisai atau tameng. Penjelasan Rasul saw. bahwa imam adalah perisai merupakan pemberitahuan (al-ikhbȃr) tentang faedah-faedah keberadaan imam. Dan ini merupakan tuntutan (thalab). Karena, jika pemberitahuan (al-ikhbȃr) dari Allah dan Rasul memuat celaan, maka dia adalah thalab untuk meninggalkan (larangan). Jika al-ikhbȃr tersebut memuat pujian, maka itu adalah thalab untuk mengerjakan. Jika pekerjaan yang dituntut itu berakibat pada penegakan hukum syar’i atau meninggalkannya berakibat pada pengabaian hukum syar’i maka thalab tersebut menjadi tegas (jȃzim).
Di dalam hadits-hadits tersebut juga disebutkan bahwa yang memimpin kaum Muslim adalah para khalifah. Hal ini berarti thalab (tuntutan) untuk mengangkat khalifah. Di dalam hadits-hadits ini juga terdapat pengharaman bagi orang Muslim untuk keluar dari kekuasaan. Ini berarti bahwa menegakkan kekuasaan atau pemerintahan bagi seorang Muslim adalah sesuatu yang wajib.
3. Dalil berupa Ijma’ Sahabat
Para sahabat telah berijma’ atas wajibnya mengangkat khalifah (pengganti) Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Mereka juga berijma’ untuk mengangkat khalifah pengganti bagi Abu Bakar, pengganti bagi Umar dan juga pengganti bagi Utsman, setelah masing-masing mereka wafat. Penekanan (ta’kȋd) dalam ijma’ sahabat untuk mengangkat khalifah ini tampak dari kenyataan bahwa mereka menunda pemakaman Rasulullah saw. setelah beliau wafat, mereka justru sibuk untuk mengangkat pengganti beliau. Padahal, memakamkan jenazah setelah kematiannya adalah fardhu. Haram hukumnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain sampai pemakaman jenazah tersebut usai. Namun ternyata ada sekelompok orang dari para sahabat yang sibuk dengan pengangkatan khalifah dan tidak sibuk untuk memakamkan Rasulullah saw. sementara kelompok yang lain membiarkan kesibukan pengangkatan khalifah tersebut dan ikut mengakhirkan pemakaman selama dua malam padahal mereka mampu mengingkari perbuatan kelompok pertama dan mampu melakukan pemakaman. Dengan demikian, hal itu adalah ijma’ untuk lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah daripada memakamkan jenazah. Hal ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang khalifah lebih wajib dari pemakaman jenazah.
Disamping itu, para sahabat juga berijma’ sepanjang hidup mereka untuk mengangkat khalifah. Meskipun mereka berselisih tentang siapa yang akan dipilih sebagai khalifah, tetapi mereka sama sekali tidak berselisih dalam hal pengangkatan khalifah, baik ketika Rasulullah saw. wafat maupun ketika setiap khalifah diantara khulafaur rasyidin wafat. Maka ijma’ sahabat ini menjadi dalil yang jelas dan kuat mengenai wajibnya mengangkat khalifah.
Hukum mengangkat seorang khalifah adalah fardhu kifayah yakni jika sebagian orang telah menunaikannya (mengangkat khalifah sesuai ketentuan syara’), maka kewajiban tersebut telah terwujud sehingga gugur kefardhuan itu bagi yang lain. Jika pengangkatan seorang khalifah ini belum terwujud maka hal ini tetap menjadi kewajiban bagi seluruh kaum Muslim selama kaum Muslim tidak mempunyai seorang khalifah.
Duduk berpangku tangan dari pengangkatan khalifah bagi kaum Muslim termasuk kemaksiatan paling besar. Karena, hal itu berarti berdiam diri dari pelaksanaan salah satu kewajiban terpenting dalam Islam. Kaum Muslim semuanya berdosa besar jika berdiam diri dari pengangkatan khalifah. Jika mereka bersepakat untuk berdiam diri, maka dosa tersebut menimpa setiap orang di seluruh penjuru dunia. Jika sebagian kaum Muslim melakukan usaha untuk mengangkat khalifah, maka dosa itu gugur dari mereka yang berusaha mengangkat khalifah. Sibuk melaksanakan aktivitas dalam rangka mengangkat seorang khalifah akan menggugurkan dosa tidak melaksanakannya. Sedangkan orang-orang yang tidak terlibat dalam pelaksanaan kewajiban ini, maka mereka tetap berdosa sampai diangkatnya seorang khalifah yang baru. wallahu a'lam.
1. Dalil Al-Qur’an
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu”. (TQS. Al-Mâ’idah [5]: 48)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu”.(TQS. Al-Mâ’idah [5]: 49)
Allah SWT. telah memerintahkan Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara diantara kaum Muslim dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. dengan perintah yang tegas. Khithâb (seruan) kepada Rasul adalah khithâb (seruan) kepada umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan bagi beliau saw. Khithâb ini adalah khithâb kepada kaum Muslim untuk menegakkan hukum-hukum Allah dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) sebab dengan pemerintahan Islam itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Maka mengangkat seorang khalifah (Imam) termasuk dalam bagian menegakkan hukum-hukum Allah tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kalian”. (TQS.An-Nisa’ [4]: 59)
Allah tidak akan menyuruh untuk menaati seseorang yang tidak ada. Sehingga dalil ini menunjukkan harusnya mewujudkan ulil amri. Arti “mewujudkan” disini hukumnya bukan sunnah atau mubah, melainkan wajib karena berhukum dengan apa yang diturunkan Allah adalah wajib. Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya menyebutkan ada empat pendapat dalam mengartikan kalimat "ulil amri" pada QS. An-Nisa: 59. Pertama, ulil amri bermakna umara (para pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan). Ini merupakan pendapat Ibn Abbas, as-Sady, dan Abu Hurairah serta Ibn Zaid. Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqaha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa ulil amri itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)
Ibn Katsir, setelah mengutip sejumlah hadis mengenai makna ulil amri menyimpulkan bahwa ulil amri itu adalah ulama menurut zhahirnya. Sedangkan, secara umum ulil amri itu adalah umara dan ulama. (Tafsir al-Quran al-Azhim, juz 1, h. 518)
Kita memang diperintah oleh Allah untuk taat kepada ulil amri. Namun perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil amri tidak digandengkan dengan kata "taat" sebagaimana kata "taat" yang digandengkan dengan Allah dan Rasul. Quraish Shihab, memberi ulasan yang menarik: "Tidak disebutkannya kata "taat" pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal kaidah yang sangat populer yaitu: "La thoat li makhluqin fi ma'shiyat al-Khaliq", Tidak dibenarkan adanya ketaatan kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khaliq (Allah)”.
2. Dalil As-Sunnah
Imam Muslim telah meriwayatkan melalui Nafi’, dia berkata, Ibnu Umar berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda:
“Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan, maka dia akan menemui Allah pada hari kiamat sedang dia tidak memiliki hujjah. Dan barangsiapa mati, sedang di lehernya tidak terdapat sebuah bai’at, maka dia mati seperti kematian jahiliyah”.
Imam Muslim meriwayatkan dari A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi SAW., beliau bersabda:
“Sesungguhnya imam adalah perisai untuk berperang di belakangnya dan melindungi diri dengannya”.
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Hazim, dia berkata, aku menyertai Abu Hurairah selama 5 tahun dan aku mendengarnya menceritakan hadits dari Nabi SAW., beliau bersabda:
“Bani Israil dulu dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi wafat digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Akan ada para khalifah dan jumlah mereka banyak”. Para sahabat berkata: ”Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Tepatilah baiat yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang apa yang Dia kuasakan kepada mereka”.
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW., beliau bersabda:
“Barangsiapa membenci sesuatu dari amir (pemimpin) nya, maka hendaklah dia bersabar atas itu. Karena, tidak seorang manusia pun yang keluar dari kekuasaan meski hanya sejengkal, lalu dia mati kecuali dia mati seperti kematian jahiliyah”. (HR. Muslim)
Di dalam hadits-hadits diatas terdapat pemberitahuan dari Rasul saw. bahwa kaum Muslim akan dipimpin oleh para wali (penguasa). Di dalamnya juga terdapat penjelasan tentang sifat seorang imam bahwa dia adalah perisai atau tameng. Penjelasan Rasul saw. bahwa imam adalah perisai merupakan pemberitahuan (al-ikhbȃr) tentang faedah-faedah keberadaan imam. Dan ini merupakan tuntutan (thalab). Karena, jika pemberitahuan (al-ikhbȃr) dari Allah dan Rasul memuat celaan, maka dia adalah thalab untuk meninggalkan (larangan). Jika al-ikhbȃr tersebut memuat pujian, maka itu adalah thalab untuk mengerjakan. Jika pekerjaan yang dituntut itu berakibat pada penegakan hukum syar’i atau meninggalkannya berakibat pada pengabaian hukum syar’i maka thalab tersebut menjadi tegas (jȃzim).
Di dalam hadits-hadits tersebut juga disebutkan bahwa yang memimpin kaum Muslim adalah para khalifah. Hal ini berarti thalab (tuntutan) untuk mengangkat khalifah. Di dalam hadits-hadits ini juga terdapat pengharaman bagi orang Muslim untuk keluar dari kekuasaan. Ini berarti bahwa menegakkan kekuasaan atau pemerintahan bagi seorang Muslim adalah sesuatu yang wajib.
3. Dalil berupa Ijma’ Sahabat
Para sahabat telah berijma’ atas wajibnya mengangkat khalifah (pengganti) Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Mereka juga berijma’ untuk mengangkat khalifah pengganti bagi Abu Bakar, pengganti bagi Umar dan juga pengganti bagi Utsman, setelah masing-masing mereka wafat. Penekanan (ta’kȋd) dalam ijma’ sahabat untuk mengangkat khalifah ini tampak dari kenyataan bahwa mereka menunda pemakaman Rasulullah saw. setelah beliau wafat, mereka justru sibuk untuk mengangkat pengganti beliau. Padahal, memakamkan jenazah setelah kematiannya adalah fardhu. Haram hukumnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain sampai pemakaman jenazah tersebut usai. Namun ternyata ada sekelompok orang dari para sahabat yang sibuk dengan pengangkatan khalifah dan tidak sibuk untuk memakamkan Rasulullah saw. sementara kelompok yang lain membiarkan kesibukan pengangkatan khalifah tersebut dan ikut mengakhirkan pemakaman selama dua malam padahal mereka mampu mengingkari perbuatan kelompok pertama dan mampu melakukan pemakaman. Dengan demikian, hal itu adalah ijma’ untuk lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah daripada memakamkan jenazah. Hal ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang khalifah lebih wajib dari pemakaman jenazah.
Disamping itu, para sahabat juga berijma’ sepanjang hidup mereka untuk mengangkat khalifah. Meskipun mereka berselisih tentang siapa yang akan dipilih sebagai khalifah, tetapi mereka sama sekali tidak berselisih dalam hal pengangkatan khalifah, baik ketika Rasulullah saw. wafat maupun ketika setiap khalifah diantara khulafaur rasyidin wafat. Maka ijma’ sahabat ini menjadi dalil yang jelas dan kuat mengenai wajibnya mengangkat khalifah.
Hukum mengangkat seorang khalifah adalah fardhu kifayah yakni jika sebagian orang telah menunaikannya (mengangkat khalifah sesuai ketentuan syara’), maka kewajiban tersebut telah terwujud sehingga gugur kefardhuan itu bagi yang lain. Jika pengangkatan seorang khalifah ini belum terwujud maka hal ini tetap menjadi kewajiban bagi seluruh kaum Muslim selama kaum Muslim tidak mempunyai seorang khalifah.
Duduk berpangku tangan dari pengangkatan khalifah bagi kaum Muslim termasuk kemaksiatan paling besar. Karena, hal itu berarti berdiam diri dari pelaksanaan salah satu kewajiban terpenting dalam Islam. Kaum Muslim semuanya berdosa besar jika berdiam diri dari pengangkatan khalifah. Jika mereka bersepakat untuk berdiam diri, maka dosa tersebut menimpa setiap orang di seluruh penjuru dunia. Jika sebagian kaum Muslim melakukan usaha untuk mengangkat khalifah, maka dosa itu gugur dari mereka yang berusaha mengangkat khalifah. Sibuk melaksanakan aktivitas dalam rangka mengangkat seorang khalifah akan menggugurkan dosa tidak melaksanakannya. Sedangkan orang-orang yang tidak terlibat dalam pelaksanaan kewajiban ini, maka mereka tetap berdosa sampai diangkatnya seorang khalifah yang baru. wallahu a'lam.
Setelah berhujjah dengan Ayat dan hadist tsb, mengapa kita membiarkan diri berdosa sedangkan kita mampu mengangkat seorang khalifah walau dengan segala keterbatasan mengingat dunia saat ini dikuasai oleh musuh musuh Islam? Atau saat ini ada seorang airul Mukminin? Bagaimana kita mengetahuinya dan apa saja kriterianya? Sehingga kita pantas mengangkat beliau sebagai Imam?
BalasHapusKhilafah bukan kewajibab bukan pula yg diharamjan.Khilafah itu anugrah Allah kpd mereka yg mau berjuang menegakkan agama-Nya dg tulus dan cara yg benar.
BalasHapusdasarnya apa akhi pengangkatan khalifah tidak wajib ? kan sudah ada dalil Rasul tentang wajibnya pengankatan khalifah usai berhentinya kenabian untuk meneruskan keemimpinan kepada umat islam agar satu dalam jamaah,,ada pemimpin dan yg dipimpin,,dan janganlah berpecah belah
BalasHapus