Kamis, 15 November 2012

PENGANGKATAN KHALIFAH DAN TATA CARANYA

Mengangkat seorang khalifah akadnya harus dilakukan atas dasar kerelaan dan kebebasan memilih, sebab mengangkat seorang khalifah berarti baiat untuk menaati seseorang yang berhak ditaati dalam kekuasaan (pemerintahan). Jadi, dalam hal ini harus ada kerelaan dari pihak yang dibaiat dan dari pihak yang membaiatnya. Karena itu, apabila seseorang tidak bersedia dan menolak menjadi khalifah maka ia tidak boleh dipaksa atau ditekan untuk menerimanya tapi harus dicari orang lain yang bersedia menduduki jabatan tersebut. Demikian pula tidak boleh mengambil baiat dari kaum Muslim dengan kekerasan dan pemaksaan karena dalam keadaan demikian akad yang dilakukan tidak lagi dianggap sah.

Khilafah adalah sebuah akad, maka dia tidak dapat terlaksana tanpa adanya pihak yang menghendaki akad. Dalam hal kekhilafahan, seseorang tidak akan menjadi khalifah kalau kaum Muslim sebagai pihak yang memiliki wewenang (kekuasaan), tidak menyerahkan jabatan tersebut kepadanya. Seseorang tidak bisa menjadi khalifah kecuali jika dia diserahi hak oleh kaum Muslim. Dia tidak memiliki kewenangan dalam kekhilafahan, kecuali jika telah sempurna akad penyerahan kepemimpinan khilafah padanya. Akad ini tidak terlaksana tanpa adanya dua pihak yang saling merelakan. Pihak pertama adalah orang yang mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan khalifah. Pihak kedua adalahkaum Muslim yang sepenuhnya rela kepada pihak pertama untuk menjadi khalifah bagi mereka. Karena itu dalam hal pengangkatan khalifah harus ada baiat dari kaum Muslim.

Adapun siapa orang-orang yang dengan baiatnya khilafah bisa berdiri, maka perlu dipahami terlebih dahulu fakta yang pernah terjadi pada saat pembaiatan Khulafaur Rasyidin dan Ijma’ para sahabat. Dalam pembaiatan Abu Bakar, cukup dengan ahlul halli wal ‘aqdi diantara kaum Muslim yang berada di Madinah saja. Kaum Muslim di Mekah dan jazirah Arab lainnya tidak dimintai pendapat bahkan mereka tidak ditanya. Demikian juga halnya dalam pembaiatan Umar. Sedangkan dalam pembaiatan Utsman, Abdurrahman bin ‘Auf meminta pendapat kaum muslimin di Madinah dan tidak membatasi diri pada pendapat ahlul halli wal ‘aqdi sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar saat mencalonkan Umar. Pada masa Ali, cukup dengan baiat mayoritas penduduk Madinah dan Kuffah.

Berdasarkan ini, khilafah dapat berdiri jika terjadi baiat yang dilakukan oleh mayoritas wakil dari mayoritas umat Islam. Baiat mereka pada saat itu adalah baiat penyerahan kekhilafahan. Sedangkan selain mereka,setelah Khilafah berdiri, baiatnya menjadi baiat ketaatan atau baiat ketundukan kepada khalifah bukan baiat penyerahan kekhilafahan.

Jika ada khalifah lain yang dibaiat di wilayah yang sama atau wilayah lain setelah pembaiatan khalifah pertama, maka wajib atas kaum Muslim untuk memerangi khalifah kedua sampai dia membaiat khalifah pertama. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Muslim melalui Abdullah bin Amru bin Ash, dia mengatakan bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda:

 “Dan barangsiapa membaiat seorang imam, lalu dia memberikan genggaman tangan dan buah hatinya, maka hendaklah dia menaatinya, jika dia mampu. Lalu jika datang orang lain yang menentangnya, maka penggallah leher orang lain tersebut”.

Jika telah terdapat khalifah berarti telah terdapat jama’ah (kesatuan) kaum Muslim. Sehingga, bergabung dengan mereka menjadi wajib dan haram keluar dari mereka. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw., beliau bersabda:

 “Barangsiapa melihat sesuatu (yang tidak disukainya) dari amîrnya, maka hendaklah dia bersabar atas itu. Karena, barangsiapa memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja lalu dia mati, maka dia mati seperti kematian jahiliyah”.


 Baiat adalah kewajiban atas seluruh kaum Muslim. Banyak hadits yang menjadi dalil kewajibannya, diantaranya sabda Nabi saw. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:

“... dan barangsiapa mati, sedang di lehernya tidak terdapat sebuah bai’at, maka dia mati seperti kematian jahiliyah”.


Baiat dilakukan dengan menjabat tangan atau berupa tulisan. Abdullah bin Dinar menceritakan hadits seraya berkata: Saat orang-orang berkumpul untuk membaiat Abdul Malik, aku menyaksikan Ibnu Umar menulis, “Sesungguhnya aku mengikrarkan untuk mendengarkan dan menaati Abdullah Abdul Malik sebagai amîrul mu’minîn berdasarkan Sunnah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, semaksimal kemampuanku”.


Baiat sah dengan menggunakan sarana apa pun. Hanya saja, disyaratkan agar baiat dilakukan oleh orang yang sudah baligh. Baiat tidak sah dilakukan oleh anak-anak. Abu Uqail Zahrah bin Ma’bad telah menceritakan hadits dari kakeknya, Abdullah bin Hisyam. Abdullah pernah bertemu Nabi saw. Ibunya, Zainab binti Hamid membawanya kepada Rasulullah saw. lalu berkata:

Wahai Rasulullah, baiatlah dia, Nabi saw. berkata: ‘Dia masih kecil’. Beliau mengusap kepalanya dan mendoakannya”. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan lafadz (teks) baiat tidak terikat pada lafadz-lafadz tertentu. Tetapi yang penting lafadz tersebut harus mencakup ‘pengamalan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya’ bagi khalifah, dan mencakup ‘ketaatan dalam kesulitan dan dalam kemudahan, dalam keadaan yang menyenangkan dan dalam keadaan yang tidak menyenangkan’ bagi yang memberi baiat. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Junadah bin Abu Umayyah:

Kami memasuki kediaman Ubadah bin Shamit ketika dia sedang sakit. Kami berkata: ‘Semoga Allah memberimu kesembuhan. Ceritakanlah sebuah hadits yang Allah memberi manfaat kepadamu dengannya, yang pernah engkau dengar dari Nabi saw.’Dia berkata:’Nabi saw. memanggil kami lalu kami membaiat beliau. Maka beliau berbicara mengenai hal-hal yang beliau minta komitmennya dari kami, yakni agar kami membaiat untuk mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan kami senang maupun dalam keadaan kami benci, dan ketika kami dalam kesulitan maupun ketika kami dalam kemudahan, dan kami akan mendahulukannya atas diri kami. Juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau berkata: Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata dimana kalian memiliki bukti dari Allah tentangnya”.


Ketika seseorang telah memberikan baiat kepada khalifah, maka baiat tersebut telah menjadi amanah di leher orang yang membaiat. Tidak halal baginya untuk menariknya kembali. Membatalkan baiat untuk Khalifah berarti melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah.

Diriwayatkan dari Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan, maka dia akan menemui Allah pada hari kiamat sedang dia tidak memiliki hujjah”. (HR. Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar