Senin, 12 Maret 2012

Gagalnya Demokrasi di Negeri Demokratis

 

 
                Tahun 2007 silam, Indonesia berhasil meraih “Medali Demokrasi”. Harian Republika menulis, medali tersebut diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik)        -sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia- karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Ketua Komite Konferensi Dunia IAPC ke-40, Pri Sulisto, di Nusa Dua, Bali (12/11/07) mengatakan, bukti bahwa Indonesia berhasil mengembangkan dan mempraktikkan demokrasi adalah suksesnya penyelenggaraan Pemilu 2004 yang mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono -dari partai yang baru terbentuk- menjadi seorang Presiden.
Di tahun 2008 kemarin pun, Indonesia sukses menyelenggarakan pemilu langsung terbanyak, yakni 160 pilkada atau 3 hari sekali. Namun apa yang telah dihasilkan dari penerapan sistem demokrasi ini? Sungguhkah sistem ini telah menyejahterakan rakyat?
Demokrasi yang sejatinya merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat ternyata tidak mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat itu sendiri, bahkan di negeri demokratis seperti Indonesia sekalipun. Menurut data yang dikeluarkan KPU, biaya Pemilihan Umum 2009 diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 48 trilyun. Menurut hasil penelusuran Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), pilkada di seluruh Indonesia telah berlangsung sebanyak 350 pilkada. Jika kita asumsikan biaya pilkada yang dikeluarkan untuk masing-masing daerah sebesar Rp 70 Milyar, maka total dana pelaksanaan demokrasi ini telah menelan biaya hampir Rp 25 trilyun. Jumlah yang tidak sedikit tentunya. Namun sungguh sangat disayangkan, biaya yang telah dikeluarkan sebesar itu hanya digunakan untuk pesta pora bernama pesta demokrasi yang telah terbukti menyengsarakan rakyat karena kebijakan yang dihasilkan oleh diskusi alot para anggota parlemen dari partai terpilih hanya memihak dan menguntungkan para pengusaha/pemilik modal -sebagai kompensasi yang harus diberikan para anggota parlemen karena para pemilik modal tersebut telah memberikan suntikan dana kampanye yang tidak sedikit-.
Sungguh tak sebanding dengan biaya kesejahteraan rakyat yang dialokasikan dalam APBN. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI pernah membandingkan biaya demokrasi dengan anggaran untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dalam APBN. Biaya yang dialokasikan di APBN untuk pengurangan kemiskinan di seluruh negeri, tahun 2004 sebesar Rp 17 trilyun, tahun 2005 sebesar Rp 24 trilyun, tahun 2006 sebesar Rp 41 trilyun, dan tahun 2007 sebesar Rp 57 trilyun.
Hal ini membuktikan bahwa Pemilu yang demokratis tentu tidak bisa dijadikan ukuran suksesnya sebuah negara, apalagi jika dikaitkan dengan persoalan kemakmuran warga negaranya, misalya berdasarkan laporan penelitian Guru Besar Ilmu Politik University of California, Los Angeles (UCLA), Michael Ross, yang diberi judul, “ Is Democracy Good for the Poor?” pemerintahan yang demokratis terbukti tidak mendorong perbaikan kesejahteraan kaum miskin. Setidaknya itulah yang terjadi di 169 negara dalam kurun waktu 1970-2000. Di Indonesia sendiri, seiring dengan puja-puji atas pemilu yang dianggap demokratis tersebut, Laporan Bank Dunia justru menyebutkan bahwa sampai September tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin hingga mencapai 17,5 % dari total penduduk Indonesia atau sekitar 39 juta penduduk.

Pandangan Islam tentang Demokrasi
            Aqidah yang menjadi dasar munculnya demokrasi adalah sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Sekulerisme memang tidak menafikan eksistensi agama, tetapi mengesampingkan fungsinya dalam mengatur kehidupan dan negara, yang berarti manusialah -tanpa campur tangan agama- yang berwenang membuat aturan bagi dirinya. Contoh riil dalam kehidupan yaitu sekalipun Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar namun ternyata Indonesia lebih memilih menerapkan hukum-hukum buatan manusia yang tercantum dalam UUD dan Pancasila juga menerapkan sistem demokrasi dalam segala aspek kehidupannya.
Demokrasi jelas utopis untuk diterapkan. Bagaimana mungkin manusia mampu menerapkan hukum-hukum buatan manusia yang notabene manusia itu serba terbatas dan senantiasa memiliki kekurangan. Ketika manusia yang satu merumuskan hukum untuk manusia lainnya, maka hukum tersebut adalah hukum bathil (disamping akan memunculkan perselisihan dan perbenturan karena perbedaan pandangan dan keinginan ) karena tidak akan sesuai dengan fitrah manusia dan tidak akan melahirkan ketentraman batin. Contoh yang dapat kita amati adalah pertentangan makna pornografi dalam UU Pornografi. Dalam UU ini pornografi dikatakan ketika seseorang melakukan perbuatan yang menimbulkan hasrat birahi (Pasal 1 ayat 1), perbuatan seperti apa saja yang dimaksud? apakah hanya sekedar memperlihatkan bagian-bagian sensitif seperti alat kelamin saja? Lantas bagaimana halnya ketika ada yang berpendapat bahwa wanita telanjang bukan merupakan aksi pornografi karena itu adalah seni, sesuatu yang indah dan pantas untuk diperlihatkan. Ternyata jika kita amati lebih mendalam, UU ini pun melindungi pernyataan tersebut karena dikatakan dalam Pasal 14 bahwa: pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: (a) seni dan budaya (b) adat istiadat dan (c) ritual tradisional. Padahal jika kita kembalikan pada aturan Allah, pornografi telah memiliki batasan yang jelas. Pornografi adalah ketika seseorang memperlihatkan auratnya -bagi pria dari pusar hingga lutut dan bagi wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan- terlepas itu akan menimbulkan hasrat birahi atau tidak. Dari fakta ini jelaslah sudah, demokrasi telah menyuguhkan pertentangan yang berkepanjangan. 
            Adapun asas demokrasi ada dua, yaitu: (1) Kedaulatan di tangan rakyat: (2) Rakyat sebagai sumber kekuasaan. Sebaliknya dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Allah atau syariat-Nya. Hanya Allah Yang Berdaulat, Yang Berhak membuat hukum bagi manusia. Hal ini tentu sangat wajar dan masuk logika,  karena Allah-lah yang paling memahami kelebihan dan kekurangan manusia dan hanya Alla-lah Dzat yang telah menciptakan manusia dengan segala Keagungan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak memiliki kewenangan untuk membuat satu hukum pun. Seandainya manusia seluruhnya sepakat untuk menghalalkan riba karena pertimbangan kemashlahatan ekonomi, membolehkan lokalisasi pelacuran agar tidak menyebar luas, menghilangkan hak milik pribadi, mengadopsi ide kebebasan umum, atau yang semacamnya, maka kesepakatan tersebut tidak ada nilainya di sisi Allah selain dianggap sebagai dosa. Sebab, setiap manusia wajib terikat dengan hukum-hukum Allah dan tidak boleh membuat aturan sendiri. Allah Swt. berfirman:
“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”. (TQS. An-Nisa : 65)
            Pelaksanaan hukum-hukum Allah sudah pasti membutuhkan kekuasaan, maka Islam memberikan kekuasaan itu kepada umat. Artinya, kekuasaan untuk memilih penguasa untuk menjalankan hukum-hukum Allah ada di tangan umat Islam. Menyoal suara mayoritas, secara filosofis, demokrasi identik dengan suara mayoritas. Prinsip mayoritas dalam demokrasi sebagai standar dalam menentukan hukum bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, hukum atau standar kebenaran tidak bergantung pada suara mayoritas atau minoritas, tetapi bergantung pada apa yang ditunjukkan oleh nash syariat karena pembuat hukum adalah Allah bukan manusia. Penguasa yang akan menjalankan syarit ini direpresentasikan oleh Khalifah, yaitu pihak yang berwenang untuk mengadopsi hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil yang paling kuat menurut ijtihadnya. Khalifah boleh -tetapi tidak wajib- merujuk pada majelis umat untuk mengadopsi hukum-hukum tersebut berdasarkan pendapatnya.
            Khulafaur Rasyidin juga biasa meminta pendapat para sahabat ketika hendak mengadopsi suatu hukum. Pada masa Umar misalnya, ketika beliau hendak mengadopsi hukum mengenai tanah taklukan di Syam, Mesir, dan Irak, beliau meminta pendapat kaum Muslim. Akan tetapi pendapat majelis umat, meskipun mayoritas, tidaklah mengikat Khalifah. Rasulullah sendiri misalnya -dalam akad perjanjian Hudaibiyah- tetap dengan pendapatnya meskipun sebagian besar sahabat tidak sepakat dengan beliau, karena pendapat beliau dalam masalah itu didasarkan pada wahyu.
            Sedangkan dalam masalah kecakapan atau pemikiran yang memerlukan keahlian, maka yang diambil adalah pendapat yang tepat, yakni pendapat dari pihak yang memang ahli di bidangnya, bukan pula didasarkan pada suara mayoritas atau minoritas. Jika terkait dengan strategi militer di medan tempur, maka masalahnya diserahkan kepada ahli militer, jika terkait dengan masalah kesehatan maka masalahnya diserahkan kepada pra dokter, dan lain lain. Dalilnya adalah sikap Rasulullah ketika beliau meninggalkan pendapatnya sendiri dan mengambil pendapat Hubab bin al-Mundzir -yaitu orang yang paling paham dalam hal ini- yang terkait dengan strategi militer dalam Perang Badar. Saat itu, beliau bahkan tidak mengajak para sahabat lain bermusyawarah.
            Sementara itu, dalam perkara-perkara yang menyangkut tindakan yang tidak memerlukan pemikiran dan penelaahan, diserahkan pada pendapat mayoritas karena mayoritas di anggap sudah sangat memahaminya. Dalam hal ini, pendapat mayoritas bersifat mengikat, harus dilaksanakan oleh semua peserta musyawarah. Dalilnya adalah sikap Rasulullah saw. dalam Perang Uhud, yakni ketika beliau dan para sahabat bermusyawarah mengenai apakah kaum Muslim menunggu musuh (kafir Quraisy) di kota Madinah ataukah justru harus menyongsongnya di luar kota Madinah. Karena mayoritas sahabat, khususnya di kalangan muda lebih banyak yang menghendaki untuk menyongsong musuh di luar Madinah, maka pendapat itulah yang dilaksanakan, meskipun hal itu bertentangan dengan pendapat Rasul dan para sahabat senior.

Memperjelas Posisi Musyawarah dalam Islam
            Banyak kalangan yang mengira bahwa sistem pemerintahan Islam identik dengan sistem Syura’ (musyawarah) dan bahwa musyawarah identik dengan demokrasi. Dengan kata lain, pemerintah Islam didasarkan pada prinsip musyawarah atau pada prinsip-prinsip demokrasi. Pendapat ini jelas terlalu menyederhanakan konsep musyawarah dan demokrasi. Mengapa? Karena Syura’ bukanlah sistem pemerintahan, apalagi sistem kehidupan. Syura’ hanyalah sebuah ushlûb (mekanisme) untuk memperoleh pendapat yang paling tepat dalam satu perkara. Sebaliknya, demokrasi berbeda dengan Syura’. Sebab demokrasi bukanlah ushlûb (mekanisme), tetapi sistem pemerintahan itu sendiri. Fakta ini sudah sangat gamblang dijumpai pada semua UUD demokratis di berbagai negara dunia, yang secara tegas menyebutkan bahwa dalam sistem demokasi kedulatan ada di tangan rakyat.
            Dengan demikian, sama sekali tidak ada kaitan antara syura dan demokrasi. Keduanya tidak layak disandingkan, juga tidak layak Syura’ sebagai sebuah pemikiran cabang dalam Islam dibandingkan dengan demokrasi sebagai sebuah ‘sistem pemerintahan’ untuk mengatur kehidupan. Ini persis seperti membandingkan sistem ekonomi Kapitalisme dengan zakat dalam Islam. Yang benar, gagasan demokrasi harus dibandingkan dengan gagasan Imamah (Khilafah), sementara sistem ekonomi Kapitalisme harus dibandingkan dengan sistem ekonomi Islam secara keseluruhan. Sehingga jelas, demokrasi merupakan sistem yang berkaitan dengan aqidah atau pandangan hidup tertentu yakni aqidah sekulerisme yang merupakan bagian asas dari ideologi Kapitalisme.
            Walhasil, dari segi pemikiran, yang mendasar dalam demokrasi adalah berupa pemberian otoritas kepada manusia untuk menentukan halal-haram, baik-buruk, terpuji-tercela, yang berarti menjadikan manusia sebagai ‘tuhan’ lain selain Allah. Sedangkan dari segi politik, demokrasi adalah ibarat ujung tombak ideologi Barat dalam membentuk peradaban baru sebagaimana yang dikehendaki oleh mereka, yang ditujukan terutama pada wilayah-wilayah di dunia Islam yang sedang menggeliat untuk kembali menerapkan Islam. Wallâhu a’lam

Oleh: Anita Komala Dewi (8Maret 2009)
Mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar