Senin, 12 Maret 2012

Menyambut Tahun Baru 2009: Kado Pahit untuk Rakyat


            Untuk kesekian kali, DPR-yang katanya wakil rakyat-menunjukkan “wajah asli”-nya: Mengkhianati Rakyat! Menjelang tahun baru 2009 ini, rakyat “dihadiahi” dua kado pahit, yakni UU Minerba (Undang-undang Mineral dan Batu Bara) yang disahkan pada 16 Desember 2008 dan hanya berselang satu hari, tepatnya tanggal 17 Desember 2008 pemerintah mengesahkan UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan).
            UU Minerba-yang akan menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan-semakin menyempurnakan lepasnya peran pemerintah dari segala hal yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam milik rakyat dan menyerahkannya pada para pemilik modal (swasta/asing). Adapun UU BHP, secara tidak langsung menjadi gambaran yang lebih meyakinkan lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam pengurusan pendidikan warga negaranya.
            Mengapa Indonesia memerlukan UU Minerba? Jawabnya: “Demi menjamin kepastian hukum bagi kalangan investor”. Lagi-lagi begitulah alasan “logis” pemerintah. Hanya demi “kepastian hukum” bagi kalangan penguasa, pemerintah tega mengabaikan kepentingan rakyat.
            Terikat UU BHP, ini lebih untuk melegalisasi aksi lepas tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, walau anggapan ini dibantah oleh Ketua Komisi X DPR, Irwan Prayitno. Ia mengatakan UU BHP ini justru bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak lagi dipungut biaya pendidikan yang tinggi. Namun, yang perlu dipertanyakan adalah bukankah UU BHP ini masih mewajibkan masyarakat untuk membayar pendidikan sebesar sepertiga biaya operasional?
            Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pendidikan gratis bagi seluruh rakyat. Untuk itu, negara harus mempunyai cukup dana. Hal ini bisa diwujudkan jika kekayaan alam seperti tambang minyak, mineral, batu bara, dll dikelola oleh negara secara amanah dan propesional, yang hasilnya sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kepentingan rakyat.
            Karena itu, sudah saatnya umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini menolak segala bentuk liberalisasi yang dipaksakan atas negeri ini. Umat Islam oun dituntut tidak hanya setuju terhadap penerapan syari’ah Islam, tetapi juga bersama-sama bergerak dan berjuang untuk segera mewujudkannya.
“Apakah sistem hukum Jahiliyah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. Al Maidah (5): 50]


Anita Komala Dewi (31 desember 2008)
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar