TERORIS: HANYA PERMAINAN STIGMA
Kata teroris sebenarnya sudah digunakan sejak dulu, hanya saja penggunaannya tidak sepopuler sekarang. Apalagi sejak insiden 11 September, kata teroris menjadi booming di kalangan elite penguasa untuk menyebut kelompok tertentu. Sebut saja peristiwa pengeboman di Thailand, Philipina, Legian Bali, dan yang paling gres adalah di KEDEUBES Australia di Indonesia disebut-sebut sebagai tindakan-tindakan brutal para teroris, yang pada dasarnya menunjuk pada jama’ah-jama’ah Islam. Sekalipun pelakunya belum ditemukan, sudah pasti dapat diperkirakan siapa yang menjadi tersangka utama. Siapa lagi kalo bukan kelompok jama’ah Islam.
STIGMA: DAMPAK NARCISISME
Narcisisme, seperti yang diungkapkan oleh Max Dimont seorang sejarawan Yahudi Liberal adalah penyakit mengagumi diri sendiri dan tidak mempunyai kesediaan untuk mengakui bahwa peradabannya merupakan sumbangan dari peradaban yang ada sebelumnya. Narcisisme inilah yang mendorong Barat untuk memandang Islam (dan peradaban lain di luar Barat) secara negative. Apalagi, penyakit narcisisme ini diperkuat adanya legitimasi Judeo-Christian yang menganggap agama lain tak layak hidup di muka bumi.
Dalam buku Demonologi Islam, dikatakan bahwa salah satu upaya musuh Islam untuk membasmi kekuatan Islam adalah dengan cara yang disebut Teori Penjulukan (Labeling Teory), yakni member julukan-julukan negative terhadap umat Islam. Penjulukan negative ini pun telah digencarkan oleh musuh-musuh Islam sejak dulu kala.
Orang Yahudi memandang Islam sebagai gentile, yang secara etimologis berarti orang asing, tetapi lebih sering dimaknai sebagai orang tak beradab. Demikian juga dalam perang salib, orang-orang Kristen menyebut tentara Islam dengan sebutan seracen yang mempunyai makna sama dengan gentile. Disamping itu, banyak karya terkenal sarjana Eropa Pertengahan yang disusun untuk mendiskreditkan Islam, misalnya Summa Contra Gentiles karya St. Thomas Aquinas (yang sedihnya lagi karya ini sering digunakan sebagai bahan rujukan oleh sarjana-sarjana Islam Kontemporer). Dalam buku ini, Aquinas menyebut Muhammad sebagai pengkhianatpara sahabatnya dan disebut sebagai ‘orang2 dgn sifat kebinatangan (bestiales) yg tinggal di gurun pasir’. Karya lain yang paling keras yaitu Disputation Againts the Sacaren and the Qur’an (Penolakan atas kaum Sararen dan Al-Qur’an) yang ditulis oleh Ricaldo de Monte Croce, yang lebih dikenal dengan judul Improbatio Alchorani.
Dari banyaknya stigma dan cap-cap yang diberikan Barat pada Islam, yang paling dominan adalah stigma Islam sebagai agama militant, yang dianggap disebarkan melalui pertumpahan darah. Walaupun pada faktanya, sejarah menulis bahwa: perang salib justru dimulai oleh pidato Paus Urbanus II di Clermont (1095) yang membakar imajinasi orang Kristen tentang gagasan “Perang Suci” untuk mensterilkan dunia dari orang-orang gentiles, sekaligus prospek penemuan kembali Yerussalem sebagai tempat ziarah.
Inilah yang sedang digencarkan oleh Barat pada dunia, yaitu stigma Islam sebagai agama radikal, fundamentalis, ekstrimis, primordial, sectarian dan fanatic. Hal ini tidak lain bertujuan untuk membentuk suatu sindrom Islam phobia (ketakutan terhadap Islam).
Naom Chomsky menyebut permainan stigma Barat ini sebagai “newspeak”, yang meminjam istilah George Orwell. Barat, lewat kekuatan media, menciptakan newspeak untuk berusaha membatasi pandangan kita tentang realitas dan fakta. Sehingga apa yang muncul di media dan menjadi opini di tengah-tengah masyarakat dunia adalah hal yang bertentangan dengan yang sebenarnya terjadi. Chomsky mencatat bahwa seluruh kebijakan luar negeri Barat, terutama campur tangan AS di kawasan dunia termasuk Indonesia, sudah dikendalikan dalam sebuah system cuci otak yang sangat LUAR BIASA canggih!!
Kini, seperti yang kita tahu, kata teroris telah mengalami pelecehan makna terhadap makna asalnya. Teroris ; orang yang melakukan tindkan terror, mengacau, membuat lingkungan sekitar terancam, dan merugikan pihak lain. Intinya, siapapun itu, apabila melakukan tindakan terror maka akan disebut teroris. Namun, kata teroris kini secara tidak langsung hanya diperuntukkan bagi kelompok Islam fundamentalis, yang selalu dikait-kaitkan dengan tindakan pengeboman,sebagai contoh jaringan Al-Qaedah yang walaupun pada faktanya sampai sekarang bukti keberadaan jaringan tersebut tidak pernah bisa ditunjukkkan. Tetapi jika yang melakukannya adalah orang-orang kapitalis, cap teroris ini berubah menjadi “hero”.
Sebagai contoh, Editorial New York Times, edisi 28 desember 1985 menulis artikel berkenaan dengan penyerbuan AS ke Libya yang menewaskan 100 orang dengan judul “To Save the Next Natasha Simpson” (Menyelamatkan Natasha Simpson Berikutnya), yang dirujuk adalah gadis Amerika berusia 11 tahun yang menjadi salah satu korban serangan teroris di bandara-bandara Roma dan Wina pada 27 Desember 1985. Para editor harian ini menulis, “korban-korban ini memberi hak pada kita untuk membom kota-kota Libya demi membuat gentar terorisme yang didukung Negara”. Ternyata empat bulan kemudian, Menteri Dalam Negeri Austria menegaskan, tidak ada bukti sedikitpun untuk menuduh Libya atas serangan pengeboman itu.
Beberapa contoh lain adalah kasus pembelaan Amerika pada tindakan Israel yang menangkap 1200 orang kaum Syiah Lebanon Selatan pada saat invasi militer tahun 1983. Amerika menyebut penyanderaan ini sebagai “upaya pencegahan terorisme”. Dan yang menjadi tragedy kemanusiaan terbesar abad ke-20 adalah pembantaian 40 jam berturut-turut oleh militer Israel di kamp pengungsi Sabra-Shatilla, Lebanon, pada 16-18 September 1982 yang merenggut nyawa 3000 orang pengungsi. Diplomat Barat menyebut tindakan ini sebagai “tindakan pembalasan” dan tindakan mendahului terhadap teroris”.
Pada dasarnya tujuan Barat gencar menyusupkan stigma-stigma negative terhadap Islam tidak lain untuk menghambat pertumbuhan “Islam politik" yang meminjam istilah John Esposito yaitu kaum Muslim yang memandang Islam tidak hanya sebagai agama ritual belaka, tapi juga sebagai ideologi alternative yang akan menggantikan ideology-ideologi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Islam politik inilah yang pertumbuhannya selalu ditakut-takuti oleh Barat karena Barat tau jika seluruh kaum Muslim adalah penganut Islam Politik maka keberadaan kapitalisme dan sosialisme hanya akan tinggal nama dan berganti dengan Ideologi Islam. Hebatnya lagi, Islam Politik inilah yang pada dasarnya mereka sebut sebagai teroris.
Siapapun tau siapa teroris sesungguhnya yang layak disebut sebagai teroris dalam arti sebenarnya. AS, yang mengatasnamakan HAM untuk menginvasi Irak (menyelamatkan dunia dari senjata pemusnah missal; yang keberadaannya tak pernah bisa dibuktikan). AS yang mempunyai kedudukan sebagai polisi dunia, kini telah berpindah pangkat sebagai penjahat internasional sejati, pelanggar HAM terbesar sepanjang zaman dan terorisme dalam arti sebenarnya.
sumber: majalah Open Mind
Kata teroris sebenarnya sudah digunakan sejak dulu, hanya saja penggunaannya tidak sepopuler sekarang. Apalagi sejak insiden 11 September, kata teroris menjadi booming di kalangan elite penguasa untuk menyebut kelompok tertentu. Sebut saja peristiwa pengeboman di Thailand, Philipina, Legian Bali, dan yang paling gres adalah di KEDEUBES Australia di Indonesia disebut-sebut sebagai tindakan-tindakan brutal para teroris, yang pada dasarnya menunjuk pada jama’ah-jama’ah Islam. Sekalipun pelakunya belum ditemukan, sudah pasti dapat diperkirakan siapa yang menjadi tersangka utama. Siapa lagi kalo bukan kelompok jama’ah Islam.
STIGMA: DAMPAK NARCISISME
Narcisisme, seperti yang diungkapkan oleh Max Dimont seorang sejarawan Yahudi Liberal adalah penyakit mengagumi diri sendiri dan tidak mempunyai kesediaan untuk mengakui bahwa peradabannya merupakan sumbangan dari peradaban yang ada sebelumnya. Narcisisme inilah yang mendorong Barat untuk memandang Islam (dan peradaban lain di luar Barat) secara negative. Apalagi, penyakit narcisisme ini diperkuat adanya legitimasi Judeo-Christian yang menganggap agama lain tak layak hidup di muka bumi.
Dalam buku Demonologi Islam, dikatakan bahwa salah satu upaya musuh Islam untuk membasmi kekuatan Islam adalah dengan cara yang disebut Teori Penjulukan (Labeling Teory), yakni member julukan-julukan negative terhadap umat Islam. Penjulukan negative ini pun telah digencarkan oleh musuh-musuh Islam sejak dulu kala.
Orang Yahudi memandang Islam sebagai gentile, yang secara etimologis berarti orang asing, tetapi lebih sering dimaknai sebagai orang tak beradab. Demikian juga dalam perang salib, orang-orang Kristen menyebut tentara Islam dengan sebutan seracen yang mempunyai makna sama dengan gentile. Disamping itu, banyak karya terkenal sarjana Eropa Pertengahan yang disusun untuk mendiskreditkan Islam, misalnya Summa Contra Gentiles karya St. Thomas Aquinas (yang sedihnya lagi karya ini sering digunakan sebagai bahan rujukan oleh sarjana-sarjana Islam Kontemporer). Dalam buku ini, Aquinas menyebut Muhammad sebagai pengkhianatpara sahabatnya dan disebut sebagai ‘orang2 dgn sifat kebinatangan (bestiales) yg tinggal di gurun pasir’. Karya lain yang paling keras yaitu Disputation Againts the Sacaren and the Qur’an (Penolakan atas kaum Sararen dan Al-Qur’an) yang ditulis oleh Ricaldo de Monte Croce, yang lebih dikenal dengan judul Improbatio Alchorani.
Dari banyaknya stigma dan cap-cap yang diberikan Barat pada Islam, yang paling dominan adalah stigma Islam sebagai agama militant, yang dianggap disebarkan melalui pertumpahan darah. Walaupun pada faktanya, sejarah menulis bahwa: perang salib justru dimulai oleh pidato Paus Urbanus II di Clermont (1095) yang membakar imajinasi orang Kristen tentang gagasan “Perang Suci” untuk mensterilkan dunia dari orang-orang gentiles, sekaligus prospek penemuan kembali Yerussalem sebagai tempat ziarah.
Inilah yang sedang digencarkan oleh Barat pada dunia, yaitu stigma Islam sebagai agama radikal, fundamentalis, ekstrimis, primordial, sectarian dan fanatic. Hal ini tidak lain bertujuan untuk membentuk suatu sindrom Islam phobia (ketakutan terhadap Islam).
Naom Chomsky menyebut permainan stigma Barat ini sebagai “newspeak”, yang meminjam istilah George Orwell. Barat, lewat kekuatan media, menciptakan newspeak untuk berusaha membatasi pandangan kita tentang realitas dan fakta. Sehingga apa yang muncul di media dan menjadi opini di tengah-tengah masyarakat dunia adalah hal yang bertentangan dengan yang sebenarnya terjadi. Chomsky mencatat bahwa seluruh kebijakan luar negeri Barat, terutama campur tangan AS di kawasan dunia termasuk Indonesia, sudah dikendalikan dalam sebuah system cuci otak yang sangat LUAR BIASA canggih!!
Kini, seperti yang kita tahu, kata teroris telah mengalami pelecehan makna terhadap makna asalnya. Teroris ; orang yang melakukan tindkan terror, mengacau, membuat lingkungan sekitar terancam, dan merugikan pihak lain. Intinya, siapapun itu, apabila melakukan tindakan terror maka akan disebut teroris. Namun, kata teroris kini secara tidak langsung hanya diperuntukkan bagi kelompok Islam fundamentalis, yang selalu dikait-kaitkan dengan tindakan pengeboman,sebagai contoh jaringan Al-Qaedah yang walaupun pada faktanya sampai sekarang bukti keberadaan jaringan tersebut tidak pernah bisa ditunjukkkan. Tetapi jika yang melakukannya adalah orang-orang kapitalis, cap teroris ini berubah menjadi “hero”.
Sebagai contoh, Editorial New York Times, edisi 28 desember 1985 menulis artikel berkenaan dengan penyerbuan AS ke Libya yang menewaskan 100 orang dengan judul “To Save the Next Natasha Simpson” (Menyelamatkan Natasha Simpson Berikutnya), yang dirujuk adalah gadis Amerika berusia 11 tahun yang menjadi salah satu korban serangan teroris di bandara-bandara Roma dan Wina pada 27 Desember 1985. Para editor harian ini menulis, “korban-korban ini memberi hak pada kita untuk membom kota-kota Libya demi membuat gentar terorisme yang didukung Negara”. Ternyata empat bulan kemudian, Menteri Dalam Negeri Austria menegaskan, tidak ada bukti sedikitpun untuk menuduh Libya atas serangan pengeboman itu.
Beberapa contoh lain adalah kasus pembelaan Amerika pada tindakan Israel yang menangkap 1200 orang kaum Syiah Lebanon Selatan pada saat invasi militer tahun 1983. Amerika menyebut penyanderaan ini sebagai “upaya pencegahan terorisme”. Dan yang menjadi tragedy kemanusiaan terbesar abad ke-20 adalah pembantaian 40 jam berturut-turut oleh militer Israel di kamp pengungsi Sabra-Shatilla, Lebanon, pada 16-18 September 1982 yang merenggut nyawa 3000 orang pengungsi. Diplomat Barat menyebut tindakan ini sebagai “tindakan pembalasan” dan tindakan mendahului terhadap teroris”.
Pada dasarnya tujuan Barat gencar menyusupkan stigma-stigma negative terhadap Islam tidak lain untuk menghambat pertumbuhan “Islam politik" yang meminjam istilah John Esposito yaitu kaum Muslim yang memandang Islam tidak hanya sebagai agama ritual belaka, tapi juga sebagai ideologi alternative yang akan menggantikan ideology-ideologi lain seperti kapitalisme dan sosialisme. Islam politik inilah yang pertumbuhannya selalu ditakut-takuti oleh Barat karena Barat tau jika seluruh kaum Muslim adalah penganut Islam Politik maka keberadaan kapitalisme dan sosialisme hanya akan tinggal nama dan berganti dengan Ideologi Islam. Hebatnya lagi, Islam Politik inilah yang pada dasarnya mereka sebut sebagai teroris.
Siapapun tau siapa teroris sesungguhnya yang layak disebut sebagai teroris dalam arti sebenarnya. AS, yang mengatasnamakan HAM untuk menginvasi Irak (menyelamatkan dunia dari senjata pemusnah missal; yang keberadaannya tak pernah bisa dibuktikan). AS yang mempunyai kedudukan sebagai polisi dunia, kini telah berpindah pangkat sebagai penjahat internasional sejati, pelanggar HAM terbesar sepanjang zaman dan terorisme dalam arti sebenarnya.
sumber: majalah Open Mind