Rabu, 29 Februari 2012

Demokrasi Membidani Lahirnya Kejahatan Korupsi


Ideologi Kapitalisme tengah mewarnai kehidupan lima milyar umat manusia di dunia saat ini. Ide ini dilanggengkan oleh sebuah sistem pemerintahan yang bernama demokrasi. Tahun 2007 lalu, Indonesia memperoleh Medali Demokrasi yang diberikan oleh IAPC (Asosiasi Internasional Konsultan Politik) sebuah organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi di seluruh dunia karena Indonesia merupakan negara pertama berpenduduk mayoritas Muslim yang dinilai melakukan proses demokrasi dengan sungguh-sungguh. Banyak pihak mengira hal ini adalah sebuah prestasi. Namun, di satu sisi, Indonesia berada di peringkat 110 dari 178 negara yang di survei sebagai indeks persepsi korupsi (antaranews, 26/10/2010).
Hal ini tidak mengherankan, jika menilik ide dasar Demokrasi itu sendiri yang meniscayakan adanya empat kebebasan yakni kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkah laku dan kebebasan kepemilikan. Dan yang paling menonjol adalah mengenai kebebasan hak milik, yang notabene setiap orang boleh memiliki semua hal tanpa batas. Tidak peduli apakah kepemilikan itu diperoleh dengan benar atau dengan menyalahi norma yang ada. Dimana salah satu contoh bentuk pelanggaran ini adalah tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Korupsi di alam demokrasi kini telah merasuk ke setiap instansi pemerintah, parlemen atau wakil rakyat, dan swasta. Menurut catatan Transparency International Indonesia, indeks korupsi di Indonesia tidak menurun, masih bertahan di angka 2,8. Posisi itu sama dengan periode sebelumnya. Ironinya, DPR dan DPRD yang dianggap perwujudan demokrasi adalah sarang banyak pelaku korupsi. Berdasarkan hasil survei Kemitraan, lembaga legislatif menempati urutan nomor satu sebagai lembaga terkorup disusul lembaga yudikatif dan eksekutif. Hasil survei tersebut menyebutkan korupsi legislatif sebesar 78%, yudikatif 70% dan eksekutif 32% (mediaindonesia, 21/4). Jual beli aneka RUU, utak-atik anggaran, pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah, proyek pembangunan, pemilihan pejabat, dsb ditenggarai menjadi lahan basah korupsi para anggota dewan.
Mental korup tidak hanya dipredikatkan pada wakil rakyat di pusat maupun daerah, tapi juga kepala daerah yang notabene produk pilkada yang “demokratis”. Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan pada Januari lalu ada 155 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. “Tiap minggu ada tersangka baru. Dari 155 kepala daerah yang  menjadi tersangka korupsi, 74 orang di antaranya adalah gubernur,” ungkap Gamawan (vivanews.com, 17/1)
Mengapa korupsi menggila di alam demokrasi? Jawabannya selain untuk memperkaya diri, korupsi juga dilakukan untuk mencari modal agar bisa masuk ke jalur politik termasuk berkompetisi di ajang pemilu dan pilkada. Sebab proses politik demokrasi, khususnya proses pemilu menjadi caleg daerah apalagi pusat, dan calon kepala daerah apalagi presiden-wapres, memang membutuhkan dana besar. Untuk maju menjadi caleg dibutuhkan puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Sementara untuk menjadi bupati saja dibutuhkan dana tidak kurang dari Rp. 20 milyar percalon kepala daerah. Seringkali korupsi makin meningkat saat menjelang pilkada dan pemilu. Kasus korupsi yang dilakukan sejumlah elit parpol saat ini pun disinyalir adalah bagian dari ancang-ancang pengumpulan dana untuk persiapan pemilu 2014.
Ledakan korupsi bukan saja terjadi di tanah air, tapi juga di Amerika, Eropa, Cina, India, Afrika, dan Brasil. Negara-negara Barat yang dianggap telah matang dalam berdemokrasi justru menjadi biang perilaku buruk ini. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses pemilu. Pengusaha membutuhkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis, sedangkan penguasa membutuhkan dana untuk memenangkan pemilu.
Jelaslah sudah, sistem politik demokrasi justru menjadi akar masalah munculnya perilaku korupsi dan kolusi. Adapun jika ditelisik lebih dalam, ada 2 hal yang menjadi penyebab utama semakin merebaknya korupsi. Pertama, mental aparat yang bobrok. Terdapat banyak karakter bobrok yang menghinggapi para koruptor, di antaranya adalah sifat tamak. Sebagian besar para koruptor adalah orang yang sudah cukup kaya. Namun, karena ketamakannya, mereka masih berhasrat besar untuk memperkaya diri. Sifat tamak ini biasanya berpadu dengan moral yang kurang kuat dan gaya hidup yang konsumtif. Ujungnya aparat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Yang lebih mendasar lagi adalah tidak adanya iman Islam di dalam tubuh aparat yang mayoritas beragama Islam. Jika seorang aparat telah memahami betul perbuatan korupsi itu haram maka kesadaran inilah yang akan menjadi self control bagi setiap individu untuk tidak berbuat melanggar hukum Allah. Sebab, melanggar hukum Allah taruhannya sangat besar yakni azab neraka.
Kedua, kerusakan sistem politik dan pemerintahannya. Kerusakan sistem inilah yang memberikan banyak peluang kepada aparatur pemerintah maupun rakyatnya untuk beramai-ramai melakukan korupsi. Peraturan perundang-undangan korupsi yang ada justru diindikasi ‘mempermudah’ timbulnya korupsi karena hanya menguntungkan kroni penguasa; kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Secara filosofis, jabatan politik dalam Islam adalah amanah yang ditujukan untuk melayani rakyat dan menerapkan syari’ah (aturan hidup) Islam. Rasulullaah saw. mengungkapkan bahwa setiap pemimpin dalam suatu wilayah adalah layaknya seorang penggembala yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT kelak di akhirat atas masyarakat yang dipimpinnya.
Posisi politik demikian tidak akan ‘menjanjikan’ secara materi. Karenanya, menuju kedudukan politik tersebut tidak perlu menguras harta yang besar sehingga nantinya berharap untuk balik modal. Tidak ada kamus ‘balik modal’ bagi seorang politisi Muslim dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya.
Agar tugas tersebut bisa ditunaikan dengan optimal dan profesional, maka pejabat Negara berhak mendapat santunan yang layak untuk mereka dan keluarganya. Khalifah Abu Bakar misalnya, diberi harta dari Baitul Mal sebagai santunan dari kompensasi bisnis yang dia tinggalkan ketika menjabat sebagai khalifah (pemimpin Negara).
Dengan pilar seperti inilah, kepala Negara dapat melaksanakan sistem politik Islam secara menyeluruh. Negara dapat melakukan perombakan yang besar-besaran terhadap birokrasi jika dinilai korup. Apa yang dilakukan Umar bin Abdul ‘Aziz pada awal pemerintahannya bisa menjadi teladan yang menarik. Al-Laits berkata, “Tatkala Umar bin Abdul ‘Aziz berkuasa, dia mulai melakukan perbaikan dari kalangan keluarganya serta membersihkan hal-hal yang tidak beres di lingkungan mereka. Kepada istrinya Khalifah Umar mengatakan, ‘Pilihlah olehmu, engkau mengembalikan harta perhiasan ini ke Baitul Mal atau izinkan aku meninggalkanmu untuk selamanya.” (Tarikh al-Khulafa’, Imam as-Suyuthi, hlm. 274)
Dalam sistem Islam, penegakkan hukum akan efektif karena secara i’tiqadi para penegak hukum melakukan ibadah ketika menerapkan hukum Islam. Dalam masa keemasan Islam, bahkan kesadaran penegakan hukum bukan hanya disadari oleh pelaku penegak hukum, namun terpidana hukum pun dengan dorongan keimanan, rela diterapkan hukuman  atas dirinya, karena itu merupakan penebus (jawabir), agar dia tidak dihukum lagi di akhirat dengan hukuman yang lebih berat dan pedih. Selain itu, bentuk hukuman yang tegas oleh syariah Islam akan mencegah orang lain untuk melakukan tindak kejahatan serupa, karena itu hukum Islam disebut sebagai zawajir.
Sudah sepatutnya disadari oleh kaum Muslim, bahwa penerapan syari’ah Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah adalah prasyarat utama bagi terealisasinya solusi Islam dalam menangani masalah korupsi ini. Atas dasar keimanan dan realitas yang ada, kita yakin bahwa korupsi tidak akan pernah teratasi kecuali dengan penerapan syari’ah Islam.


By: Anita Qurrota a’yun al-Anbiyaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar