Rabu, 29 Februari 2012

Pembatasan BBM Bersubsidi Sarat Kepentingan Asing



Pemerintah kembali akan memberlakukan pembatasan BBM subsidi mulai 1 April 2012. Sebab DPR dan pemerintah telah menyepakati UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang mengamanatkan pembatasan konsumsi BBM (Antara, 12/01). Banyak pihak menolak pembatasan BBM bersubsidi itu karena sama saja dengan menaikan BBM 100 %.
Kalangan pengusaha khususnya UMKM akan banyak jadi korban kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi ini. Pembatasan ini akan makin memukul daya saing produk UMKM. Bukan hanya biaya produksi yang bertambah karena biaya transportasi, tapi bahan baku juga pasti akan ikut naik. Kondisi ini pun memaksa pelaku UMKM menaikkan harga jualnya. Di sisi lain, daya beli masyarakat dipastikan akan merosot. Maka bisa dipastikan banyak UMKM yang akan gulung tikar. Jika demikian halnya, lalu untuk kepentingan siapa pembatasan BBM bersubsidi itu dilakukan?

Subsidi: Pemborosan APBN?
Diantara alasannya yang selalu saja muncul adalah subsidi membebani dan menjadi pemborosan APBN.  Padahal kalau mau jujur, yang membebani APBN adalah Pembayaran Utang dan bunganya serta penggunaan APBN yang boros. Penggunaan APBN dinilai sangat boros. Hal ini dapat kita lihat dari: Pertama, banyak pengeluaran yang tidak efektif. Anggaran untuk kunjungan dan studi banding mencapai Rp 21 triliun. Padahal selama ini dinilai lebih banyak bernuansa plesiran. Kedua, anggaran untuk gaji pegawai tahun 2012 mencapai Rp 215.7 triliun naik Rp 32.9 triliun (18%) dibandingkan tahun 2011. Padahal rata-rata gaji PNS sudah jauh lebih baik dari UMR. Tapi pemerintah tetap menaikkan gaji PNS 10 % sementara kenaikan gaji itu tidak diikuti dengan peningkatan kinerja PNS dan sampai sekarang kualitas pelayanan publik masih saja buruk. Ketiga, pemerintah justru menambah jumlah pejabat tinggi yaitu menambah banyak jabatan wakil menteri. Pasti mereka akan mendapat berbagai fasilitas yang dibiayai dari APBN seperti rumah dan mobil dinas, biaya operasional, gaji, tunjangan jabatan, sekretaris, ajudan, sopir dan beberapa staf pembantu dan sebagainya. Tentu itu makin menyedot uang APBN.
Kenapa pos-pos belanja seperti itu tidak dianggap membebani dan dianggap sebagai pemborosan APBN sementara subsidi untuk rakyat dianggap beban dan pemborosan?
Penerimaan APBN sebagian besar dari pajak baik PPH, PPN, PBB dan lain-lain yang dipungut hingga dari rakyat miskin sekalipun. Sementara para pengusaha atau investor asing sering diberi fasilitas keringanan pajak seperti tax holiday, penurunan bahkan penghapusan PPN dan PPnBM, pajak ditanggung pemerintah atau fasilitas lainnya, yang cenderung terus meningkat. Tentu itu mengurangi pemasukan atau membebani APBN. Kenapa fasilitas untuk pengusaha dan investor asing itu cenderung ditingkatkan, sementara fasilitas subsidi yang langsung bersentuhan dengan rakyat seperti subsidi BBM justru dihilangkan?

Akar Masalahnya: Liberalisasi Migas
Pemerintah telah berkomitmen menghilangkan secara bertahap subsidi BBM. Penghilangan subsidi BBM itu adalah salah satu kesepakatan dalam pertemuan puncak 21 kepala negara anggota APEC di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat dan pertemuan G-20 di Prancis tahun lalu. Inilah alasan sebenarnya kenapa pemerintah terkesan ngotot memaksakan pembatasan BBM bersubsidi April mendatang.
Lebih dari itu, pembatasan BBM bersubsidi merupakan satu bagian integral dari paket kebijakan liberalisasi migas yang menjadi amanat UU No. 22/2001 dan didektekan oleh IMF melalui LoI. Teks UU tersebut menyatakan pentingnya manajemen urusan minyak dan gas sesuai dengan mekanisme pasar (pasal 3). Kebijakan liberalisasi migas itu untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas dari hulu sampai hilir kepada swasta seperti yang tercantum pada pasal 9 : Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh: Badan Usaha Milik Negara; Badan Usaha Milik Daerah; Koperasi; Usaha Kecil; Badan Usaha Swasta.
Pembatasan BBM bersubsidi itu untuk meliberalisasi migas di sektor hilir guna memberi jalan bagi swasta asing untuk masuk dalam bisnis eceran migas. Ini adalah rencana lama yang terus tertunda. Menteri ESDM waktu itu, Purnomo Yusgiantoro, menegaskan dalam pernyataan persnya (14/5/2003): “Liberalisasi di sektor minyak dan gas akan membuka ruang bagi para pemain asing untuk ikut andil dalam bisnis eceran bahan bakar minyak”. Selama harga BBM masih disubsidi maka sulit menarik masyarakat untuk membeli BBM jualan SPBU asing itu. Dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi masyarakat dipaksa menggunakan pertamax, maka SPBU-SPBU asing tanpa capek-capek bisa langsung kebanjiran konsumen. Dengan begitu maka puluhan perusahaan yang telah mendapat izin bisa segera ramai-ramai membuka SPBU-SPBU mereka. Semua itu pintunya adalah kebijakan pembatasan BBM bersubsidi! Dengan demikian yang paling besar diuntungkan dari kebijakan itu adalah swasta dan asing pengecer migas. Sebaliknya yang dirugikan jelas adalah rakyat!!

Solusi Islam
Semua jenis sumber energi baik migas, listrik atau lainnya, secara syar’i negara tidak berhak untuk memberikan kekuasaan pengelolaannya kepada individu, institusi, atau perusahaan tertentu, meskipun berasal dari negeri ini sendiri. Lalu bagaimana jika mereka itu berasal dari pihak asing kafir imperialis? Sumber energi tersebut adalah milik umum untuk umat. Rasul saw bersabda:Kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api”. (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Negara secara syar’i dituntut untuk mengeksplorasi energi itu dan mendistribusikannya kepada rakyat. Jika negara menjualnya, negara harus mendistribusikan keuntungan hasil penjualannya kepada rakyat. Negara tidak boleh memungut dari rakyat kecuali pungutan yang tidak melebihi biaya riil untuk mengatur pengelolaan BBM.
Kebijakan liberalisasi migas termasuk pembatasan BBM bersubsidi jelas bertentangan dengan ketentuan syariah itu, karenanya haram dilakukan. Kebijakan itu merupakan kebijakan yang zalim dan merugikan rakyat untuk menyenangkan perusahaan-perusahaan imperialisme asing dan pihak-pihak rakus yang menjarah kekayaan umat.
Karena itu kebijakan liberalisasi migas dan pembatasan BBM bersubsidi itu harus ditolak dan dihentikan. Berikutnya migas dan SDA lainnya harus segera dikelola dengan benar sesuai tuntutan yang dibawa oleh Rasul saw. Hanya dengan itulah, migas dan SDA lainnya akan bisa dikelola demi kesejahteraan dan kebaikan umat. Keinginan kita agar migas dan SDA yang ada benar-benar menjadi berkah bagi negeri ini hendaknya mendorong kita melipatgandakan usaha dan kesungguhan untuk mewujudkan penerapan Syariah Islam secara total dan utuh dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

By: Anita Qurrota a’yun al-Anbiyaa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar