Senin, 12 Maret 2012

Refleksi Akhir Tahun 2011


            Negeriku sayang, negeriku malang. Begitulah kiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi negeri ini. Menjelang pergantian usia bumi ini, begitu banyak aktivitas ataupun kinerja kerja yang mesti kita muhasabahi, terutama kinerja para wakil rakyat dan pemimpin negeri ini. Betapa tidak, bukankah tahun yang baru merupakan momentum baru untuk semakin berbenah diri melakukan pembaharuan-pembaharuan ke arah yang lebih baik?
            Jika kita tengok beberapa data yang penulis dapatkan dari berbagai sumber, sungguh miris nan ironi keadaan negeri ini. Tak banyak perubahan berarti yang dialami disini. Mulai dari masa Orde Lama, Orde Baru, lalu berganti dengan Reformasi yang kini diisi oleh pemerintahan bapak Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi rakyat pada keyataannya tidak jauh menjadi lebih baik. Jika kita tilik data berdasarkan BPS di tahun 2011, ada 30 juta orang miskin dengan standar kemiskinan yaitu yang memiliki pengeluaran kurang dari 230 ribu/bulan. Jika ditambahkan dengan yang ‘hampir miskin’ (pengeluarannya Rp 233 – 280 ribu/bulan), jumlahnya menjadi 57 juta orang atau 24% dari penduduk negeri ini. Apalagi jika menggunakan standar Bank Dunia (pengeluaran kurang dari US$ 2 per hari) maka ada lebih dari 100 juta orang miskin di negeri ini. Belum lagi sekitar  8,12 juta orang menganggur. Menurut Data Kadin, bahkan ada tambahan 1,3 juta penganggur tiap tahun. Sebab tambahan lapangan kerja yang ada hanya 1,61 juta sedangkan tenaga kerja baru mencapai 2,91 juta orang (Republika, 15/12).
            Sungguh ironi, kekayaan alam yang begitu melimpah di negeri ini ternyata tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Bahkan sebagian besar kekayaan alam negeri ini justru dikuasai dan dinikmati hasilnya oleh asing. Contohnya, Freeport yang sudah bercokol selama 40 tahun di bumi Papua, antara tahun 2004-2008 pendapatannya berkisar US$ 19.893 milyar (sekitar Rp 198 trilyun). Sementara pemerintah Indonesia hanya menerima Rp 41 trilyun dalam bentuk pajak dan royalti selama 5 tahun. Itu hanya sekedar perhitungan dalam rentang waktu 5 tahun, bagaimana jika perhitungannya kita jumlahkan selama 40 tahun? Sungguh tak terbayang jumlah kekayaan negeri ini yang telah berhasil dikeruk oleh asing. Dan pemerintah Indonesia hanya tinggal diam menyikapi hal ini. Alangkah lucunya negeriku, dimana perampok dipersilahkan masuk menjarah kekayaan tanpa ada perlawanan.
Selain itu, pada tahun ini angka pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 6,5% dan PDB mencapai US$ 752 miliar. Menurut Majalah Forbes yang dirilis bulan November lalu, dari jumlah itu 11% atau US$ 85,1 miliar hanya dimiliki oleh 40 orang terkaya di negeri ini. Hal ini menunjukkan tingginya kesenjangan dan buruknya distribusi kekayaan di negeri ini. Belum lagi menurut data hasil Survei Transparency International yang dilansir pada bulan Desember 2011, menyatakan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negeri ini hanya 3,0 (skala 0 terkorup – 10 terbersih). Dalam 10 tahun ini, IPK Indonesia hanya naik 0,8. Maka tidak aneh jika Indonesia pun berhasil menempati rangking 100 dai 183 negara yang disurvei. Artinya, pemberantasan korupsi selama 10 tahun ni tidak menunjukkan perubahan berarti.
Kenapa semua itu bisa terjadi? Tingginya kesenjangan sosial, angka kemiskinan dan pengangguran, angka korupsi, dominasi asing dan swasta atas kekayaan negeri ini, dan lain sebagainya merupakan efek dari diterapkannya sistem Kapitalisme di negeri ini. Kapitalisme senantiasa meniscayakan bergulirnya kekayaan hanya di tangan orang-orang atau pihak-pihak yang bermodal saja sedangkan orang tak punya atau yang memiliki modal pas-pasan siap-siap gigit jari dan jangan berharap lebih bisa merubah nasib hingga pada kondisi yang lebih baik kecuali anda punya tekad baja dan usaha keras untuk merubah diri dan bahkan siap untuk melakukan berbagai cara untuk memperoleh apa yang anda tuju.


Islam sebagai solusi
Setiap sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Zat yang Maha Mengetahui, pasti akan menimbulkan kerusakan dan pada akhirnya akan tumbang. Kapitalisme dengan berbagai bentuk kerusakan dan segala dampak yang ditimbulkannya berupa kemiskinan, kesenjangan, ketidakstabilan ekonomi dan politik, dimana hal ini terjadi bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negeri-negeri lainnya, merupakan bukti nyata rapuhnya sistem ini. Kenyataan ini semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridhoi sang Kholiq dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur, yakni dengan menerapkan syari’at-Nya secara kaffah di muka bumi.
Sekuat apapun sebuah rezim yang otoriter, korup, menindas rakyat dan durhaka kepada Allah SWT, meski dijaga dengan kekuatan senjata dan didukung oleh negara adidaya, cepat atau lambat pasti akan tumbang dan tersungkur secara tidak terhormat. Jatuhnya Ben Ali, Mubarak, Qaddafi, Ali Abdullah Saleh dan mungkin segera menyusul penguasa Suria Bashar Assad, serta penguasa lalim di negara-negara lainnya adalah bukti nyata bahwa Allah tidak akan membiarkan orang-orang keji berkuasa di muka bumi. Kenyataan ini semestinya menjadi peringatan bagi para penguasa dimanapun berada untuk menjalankan kekuasaannya dengan benar, penuh amanah, demi tegaknya kebenaran dan bukan untuk memperturutkan nafsu serakah mereka demi mencapai kekuasaan dan kesetiaan pada negara penjajah.
Oleh karena itu bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit negeri ini, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya akan datang dari Zat yang Maha Baik, yakni Allah SWT dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk dan takut pada aturan pencipta-Nya. Sudah saatnya kita campakkan Kapitalisme, terapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Raih keberkahan dengan menerapkan Syari’at-Nya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.


By: Anita Komala Dewi
Editor: Nijmah Nurlaili

Tidak ada komentar:

Posting Komentar