Ketegangan makin meningkat antara Korea Utara dan Korea Selatan setelah Korea Utara menembakkan artilerinya ke beberapa daerah di Korea Selatan pada hari Selasa, 23/11/2010 lalu. Cina menuduh bahwa Amerika Serikat dan Korea Selatanlah yang memicu ketegangan tersebut setelah keduanya memutuskan untuk melakukan latihan militer gabungan di Laut Kuning.
Kompas.com tanggal 29/11/2010 melansir sebuah analisis, bahwa ketegangan di Semenanjung Korea bukanlah antara Korea Utara dan Korea Selatan melainkan antara Amerika dan Cina. Dengan alasan bahwa sebelumnya Presiden AS, Obama telah menuntut Cina agar menekan (baca: menaikkan) nilai mata uangnya, Yuan terhadap dolar. Akan tetapi Cina bersikeras menolak tuntutan tersebut dengan alasan bahwa masalah tersebut adalah masalah dalam negeri Amerika bukan masalah Cina. Neraca perdagangan Amerika kini mengalami defisit terhadap Cina. Amerika pun berusaha mengubah perlakuannya terhadap Cina menjadi perlakuan yang lebih bersahabat, jauh dari perlakuan agresif. Namun, rupanya hal ini tidak mampu mengubah sikap Cina dan tetap bersikeras dengan kebijakannya.
Jika kita lihat kondisi Asia sebelumnya, Iran pernah berkonflik bertahun-tahun dengan Irak. Irak pernah menyerang Kuwait. Iran sering bersitegang dengan Israel. Israel puluhan kali menyerang Gaza. Roket-roket dan pesawat tempur Israel pernah membombardir basis Hizbullah di Lebanon. Masalah Israel – Palestina sudah puluhan tahun tidak pernah selesai. Itulah beberapa konflik yang terjadi di Timur Tengah.
Di Asia Timur, Cina mengarahkan banyak rudalnya ke Taiwan. Korea Utara sering bersitegang dengan Korea Selatan. Akhir-akhir ini, konflik “Dua Korea” itu bahkan sampai pada tingkat mengkhawatirkan.
Itulah segelintir konflik yang terjadi di sebagian belahan dunia. Pertanyaannya: Mengapa semua itu terjadi? Apakah semua itu hanya kebetulan?
Memang tidak semua konflik di beberapa negara adalah akibat campur tangan Amerika Serikat. Namun, dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat banyak memicu terjadinya konflik di seluruh dunia, termasuk konflik Korea Utara dan Selatan. Dapat dikatakan pula bahwa ragam konflik di berbagai wilayah dunia sangat menguntungkan Barat, khususnya Amerika Serikat dalam upayanya untuk terus menguasai dunia. Dalam konteks konflik Korea Utara dan Selatan misalnya, Amerika sesungguhnya ingin memancing Cina untuk masuk dalam konflik “Dua Korea” ini karena AS bisa secara tidak langsung melemahkan Cina yang saat ini amat kuat secara ekonomi dan kekuatan ekonomi tersebut sangat mengancam AS.
Sebagaimana kita ketahui, Cina berada di wilayah Asia Timur bersama Korea (Selatan dan Utara) dan Jepang. Ketiga wilayah ini dianggap memiliki potensi besar yang mampu menyaingi hegemoni Barat di dunia, yakni dari segi penguasaan teknologi bahkan jumlah penduduknya. Jepang dan Korea selama ini dikenal sebagai dua negara ras kuning yang memiliki dan menguasai teknologi tinggi. Adapun Cina adalah penyumbang terbesar penghuni bumi dengan penduduk sekitar 2 miliar. Akhir-akhir ini, Cina bahkan mengalahkan Jepang dari sisi ekonomi selain juga penguasaan teknologinya. Selain itu, dari sisi ideologi, Cina yang komunis jelas berseberangan dengan Amerika yang menganut ideologi Kapitalisme.
Dengan begitu konflik di berbagai wilayah di muka bumi ini terbukti menguntungkan Barat, khususnya Amerika Serikat. Konflik tentu membuat beragam kekuatan tidak bersatu. Sebaliknya Barat dan AS dengan visi dan misi kapitalistiknya terus memelihara kondisi ini agar terus dapat menguasai dunia.
Lantas pertanyaannya saat ini, dimanakah posisi Indonesia dalam permasalahan ini?
Indonesia tentu harus belajar dari berbagai konflik tersebut, Indonesia tidak boleh terjebak dalam konflik-konflik dunia. Apalagi jika konflik-konflik tersebut secara sengaja diciptakan oleh Negara-negara besar kapitalis-imperialis, seperti Amerika Serikat. Karena itu, dalam konteks konflik Korea Utara dan Selatan pun, Indonesia harus bersikap waspada. Indonesia tidak boleh terlibat jauh dalam konflik kedua Negara tersebut yang sebetulnya hanya mennguntungkan Negara-negara kapitalis, khususnya Amerika Serikat. Sebaliknya, Indonesia harus menjadi Negara yang mandiri.
Bagaimanapun juga, sesungguhnya Indonesia mampu menjadi Negara adidaya dengan segala potensi yang dimilikinya baik dari jumlah penduduk ataupun potensi Sumber Daya Alam yang melimpah ruah. Posisi geopolitik Indonesia di Asia Tenggara juga sangat strategis. Hanya saja hal itu dapat terwujud jika Indonesia menerapkan seluruh aturan Islam dalam segala sistem kehidupannya baik dalam urusan politik, ekonomi, sosial kebudayaan, pendidikan, pemerintahan ataupun keamanan.
By: Anita Komala Dewi
Editor: Maya Puspita Sari
By: Anita Komala Dewi
Editor: Maya Puspita Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar