Akhir
bulan Oktober lalu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono baru saja mendapat gelar
Knight Grand Cross in the Order of the
Bath –gelar tertinggi dalam Order of
the Bath- dari Ratu Kerajaan Inggris, Ratu
Elizabeth II. Penghargaan dari Kerajaan Inggris ini diberikan kepada Presiden SBY
oleh Ratu Elizabeth II dan Pangeran Philip seusai jamuan santap siang di Blue
Drawing Room, Istana Buckingham, London, Inggris, Rabu (31/10) pukul 14.30
waktu setempat.
Gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath (Ksatria Salib Agung
dalam Ordo Pemandian) ini tentulah bukan pemberian yang gratis. Dalam sejarahnya, pemberian gelar
“kehormatan” tersebut tak jarang dijadikan strategi Negara penjajah untuk
mengamankan kepentingannya. Dahulu
hal ini dilakukan terhadap raja-raja di nusantara. Strategi tersebut juga
digunakan oleh Inggris untuk menancapkan kontrol
finansialnya terhadap Mesir.
Pada
tahun 1875, Inggris membeli bagian share gubernur Mesir, kala itu Ismail Pasha,
atas terusan Suez seharga £ 3.976.582 dan
sejak saat itu kontrol Anglo-French terhadap keuangan Mesir berhasil
ditancapkan. Ismail Pasha lalu diberi gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath begitu pula anaknya Tawfik
Pasha, sehingga kontrol Inggris itu pun bisa terjamin. Hal yang mirip dengan
yang terjadi saat ini.
Salah
satu investasi besar Inggris di Indonesia yakni dalam sektor migas. Melalui
Brithis Petroleum (BP) yang mendapatkan kontrak pengelolaan gas blok Tangguh di
Papua, Inggris mengeruk kekayaan Indonesia. Saat ini pabrik LNG BP Plc di Teluk
Bintuni Papua memiliki dua train (dapur) dengan kapasitas 7,6 juta metrik ton LNG
per tahun dan akan ditambah menjadi tiga train yang direncanakan berkapasitas
3,8 metrik ton LNG per tahun.
Investasi Inggris di Indonesia
direncanakan akan mencapai US$ 12 miliar (7,5 miliar poundsterling) atau setara
dengan Rp 108 triliun. Investasi sebesar Rp 108 triliun ini dimaksudkan untuk
pembangunan fasilitas ketiga LNG liquefaction train (Train 3) di Papua Barat (detik finance).
BP
Plc sudah menyampaikan proposal pengembangan kilang LNG Tangguh awal September
lalu. Dalam waktu yang relatif singkat yakni kurang dari dua bulan, tanpa
proses tender dan transparan, proposal itu mendapat persetujuan dari pemerintahan
RI.
Pemerintah resmi menyampaikan
persetujuan atas proposal pengembangan kilang LNG Tangguh ini pada saat
pertemuan bilateral Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri
Inggris David Cameron di London, Kamis (1/11), satu hari setelah pemberian
gelar Knight
Grand Cross in the Order of the Bath pada Presiden SBY.
Diperkirakan sektor migas ini
memberi keuntungan sekitar Rp 300 triliun dalam setahun. Namun sudahkah
kerjasama yang dibangun antara Indonesia dan Inggris ini memberi dampak berupa kesejahteraan
bagi rakyat Indonesia? Sejatinya apa yang didapat negeri ini tidak pernah
sebanding dengan apa yang didapat oleh Inggris dan negeri-negeri penjajah
kapitalis lainnya. Kekayaan alam negeri ini terus mengalir menyejahterakan
warga negara Inggris.
Ironi, dengan adanya
penyerahan pengelolaan sumber daya alam negeri ini kepada pihak swasta dan
asing berarti Pemerintah lebih mengedepankan kesejahteraan negeri-negeri
penjajah kapitalis dibanding kesejahteraan rakyatnya sendiri.
Jika
kita tengok kondisi Indonesia hari ini, angka kemiskinan jelas kian melambung.
Menurut BPS, penduduk miskin Indonesia tahun 2011 dengan pengeluaran kurang
dari Rp 230.000 mencapai 30 juta jiwa. Jika ditambah dengan penduduk ‘hampir
miskin’ yang pengeluarannya antara Rp 233.000 – Rp 280.000, jumlahnya meningkat
menjadi 57 juta orang atau 24% dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini akan
tampak kian membengkak jika kita menggunakan standar kemiskinan internasional,
yakni penduduk dengan pengeluaran US$ 2 per hari. Menurut laporan Bank Dunia,
pada tahun 2009 sebanyak 50,7% atau lebih dari separuh penduduk negeri ini
masih dalam kategori miskin (World Bank, World Development Indicators 2011). Kerjasama antara indonesia
dan pihak swasta asing selama ini jelas tak memberikan efek kesejahteraan bagi
negeri ini.
Salah Kelola Kekayaan Alam Indonesia
Pangkal
semua masalah ini adalah sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik demokrasi.
Akibatnya, sejak masa Orde Baru hingga saat ini kekayaan alam Indonesia telah diserahkan
dengan harga yang sangat murah kepada swasta dan asing. Melalui berbagai produk
Undang-undang seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal dan sebagainya
arah ekonomi negeri ini telah digiring pada ekonomi neoliberal.
Semua
undang-undang yang memberikan peranan besar kepada swasta dan kapitalis asing
disahkan oleh DPR tanpa ada upaya pencegahan sedikit pun. Semua ini berasas
pada kepercayaan para penguasa dan pejabat di Indonesia pada sistem ekonomi
liberalisme dan mekanisme pasar. Ditambah lagi dengan mental korup mereka yang
hanya berpikir untuk kepentingan diri mereka saja. Akibat lebih lanjut,
sebagian besar kekayaan alam kita dikuasai oleh asing.
Sebagai
sebuah ideologi, Islam memiliki sistem ekonomi yang khas. Di dalamnya ada
konsep bagaimana mengelola sumber daya alam. Menurut pandangan Islam, hutan,
air, dan energi adalah milik umum. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.: “Kaum Muslim
berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api” (HR. Abu Daud, Ahmad &
Ibnu Majah).
Maka dari itu, pengelolaannya
tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management), tetapi harus dikelola
sepenuhnya oleh negara (state based management) dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat
dalam berbagai bentuk.
Untuk
pengelolaan barang tambang dijelaskan oleh hadits riwayat Imam at-Tirmidzi dari
Abyadh bin Hammal yang menceritakan bahwa dirinya pernah meminta kepada
Rasulullah saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasulullah saw.
meluluskan permintaan tersebut, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai
Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya
engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)”. Rasulullah saw. kemudian
bersabda: “Tariklah tambang tersebut dari dia”. (HR. At-Tirmidzi)
Dalam
hadits ini, yang menjadi fokus bukan saja pada garam, melainkan tambangnya.
Terbukti ketika Rasulullah saw. mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya
sangat banyak, beliau menarik kembali pemberian itu. Karena itu, penarikan
kembali keputusan Rasulullah saw. atas permintaan Abyadh adalah ‘illat dari larangan individu untuk
memiliki sesuatu yang menjadi milik umum. Karena itu menurut konsep kepemilikan
dalam sistem ekonomi Islam, berbagai barang tambang yang jumlahnya sangat besar
seperti migas,batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya
termasuk milik umum yang wajib pengelolaan atasnya dikelola oleh negara. Wallaahu a’lam
bi ash-showaab